Minggu, 20 September 2015

ELROY (20)



Bab XX

Sebelumnya Disini


Elroy terbelalak saat mendapati Bastian dan Gendis berada dalam kamar ibunya. Bagaimana bisa mereka ada di sini? Tanyanya dalam hati. Ia baru saja kembali dari kantin. Setelah berbicara banyak dengan Anya, Elroy memutuskan mengisi perutnya di kantin rumah sakit. Sedangkan Anya memilih kembali ke kamar. Dia yakin kedua orang tuanya sudah selesai berbicara.

“Hai, El!”

Elroy hanya mengangguk sekilas saat Gendis menyapanya. Matanya mengedari seluruh kamar dan tak lama ia menghembuskan nafas lega karena ketidakberadaan ayahnya di ruangan ini. Sungguh, ia masih belum bisa mengontrol emosi jika berdekatan dengan laki- laki itu.

Tapi tunggu!

“Anya mana?”

“Nganter papi ke depan, El!”

Elroy terdiam. Ternyata laki- laki itu baru saja pergi. Ia pun memilih menghempaskan tubuhnya di sofa yang berada di seberang ranjang ibunya. Matanya menatap Bastian, “Dari tadi.”

Bastian menggeleng, “Ya adalah sepuluh menit.”

Elroy mengangguk. Sekilas matanya melirik Gendis yang duduk di dekat ranjang ibunya. Gadis itu tengah membantu mengupas buah yang akan dimakan mami. Sesekali sembari encuri pandang ke arahnya. Entah mengapa aura canggung melingkupi keduanya.

“Anak- anak lain mungkin dalam perjalanan kemari.” Bastian menghampiri Elroy di sofa lalu mengambil tempat di sebelahnya.

Elroy mengernyit. Anak- anak yang lain? Maksudnya tiga cecunguk lain itu! Buat apa? Seingatnya ia tak mengabarkan siapapun kondisi mami.

“Gue lihat di infotainment.” Ujar Bastian pelan namun masih bisa didengar siapapun.

“Berarti sudah banyak wartawan di luar?” Elroy mengangguk menjawab pertanyaan ibunya.

Mami mendesah, “Resiko. Padahal tante nggak suka dikejar- kejar wartawan lah!” Dahi Elroy mengerut. Mami tampak nyaman berbicara dengan Gendis.

“Ya mau nggak mau kan harus dihadapi, Tan.”

“Gue yang ngajak dia.” Suara berat Bastian membuat Elroy berpaling. Ia mengabaikan kelanjutan percakapan mami dan Gendis. Matanya beradu pandang dengan mata Bastian. “Gue rasa dia sudah jadi bagian terpenting di hidup lo.”

Elroy mendengus. Bagian terpenting? Sok tahu, Bastian! Lagian siapa dia,

“Mau lo ngingkarin jug ague nggak percaya.”

Elroy berdecih. Ia menatap tajam Bastian. “Berisik lo!”

“Lo ngerasa nggak sih perlakuan lo ke dia beda, El?”

Elroy terkesiap. Kemudian membuang muka. Pertanyaan Bastian cukup mengusik diriya. Perlakuan beda? Bagian terpenting! Gendis?

Kalau diingat buat apa malam itu dia datang ke rumah gadis itu? Kemana pula sikap garangnya jika berhadapan dengan wanita. Yah meski ia bersikap cuek dan tak peduli, pada akhirnya dia pun tak bisa menolak keinginan gadis itu.

Elroy menghela nafas berat. Otaknya terasa tumpul. Ini apa?

“Gue rasa lo udah jatuh cinta dengan dia.” Bisik Bastian yang membuat Elroy ternganga seketika.

Mustahil!

***

“Pacar kamu cantik, El!”

Dahi Elroy mengerut mendengar kata- kata mami, “Pacar?”

“Gendis itu loh, El!” Celetuk Anya gemas. Ia cukup greget dengan ekspresi yang ditunjukkan adiknya. Lama!

Elroy menggeleng. “Gendis bukan pacar El!” Gendis dan Bastian serta ketiga temannya yang akhirnya beneran menyusul baru saja pulang. Mereka menghabiskan waktu cukup lama untuk menjenguk mami. Mengobrol sembari bersenda gurau mencairkan suasana. Meski begitu kening Elroy sedikit mengernyit, untuk apa mereka kemari? Peduli atau memang basa- basi.

“Tapi lo suka kan?”

Elroy melotot ke Anya. Kakaknya ini nyosor aja! Sok tahu pula! “Bawel amat sih lo, Nya!”

“Bawel- bawel gini gue tetap kakak lo, El. Jadi santunlah sedikit, panggil gue kakak. Ka-kak!”

“Ogah!” Elroy menolak dengan cepat. “Nggak cocok!”

“Ish lo ini nyebelin emang ya!”

Tiba- tiba suara tawa kecil menghentikan keributan keduanya. Sontak keduanya menoleh. Mami di atas ranjang tengah tertawa sambil menggelengkan kepalanya.

“Kalian ini!” Katanya saat menyadari kedua anaknya tengah menatapnya. “Soal panggilan aja selalu ribut.”

Keduanya terdiam. Lalu berpandangan. Lama. Lama sekali tak melihat tawa dari bibir mami. Entah kapan terakhir kali mami tertawa lepas.

“El itu kurang ajar, Mam. Nggak sopan!” Anya cepat- cepat menguasai keadaan. Ia tak ingin mami curiga atau bingung dengan keterdiaman mereka.

“Harusnya dia manggil Anya kakak dong! Iya kan, Mam!”

“Please deh, Nya. Nggak usah drama! Manja!”

Astrid semakin tertawa melihat keributan keduanya. “Udah- udah! Kok malah jadi kalian ribut. Tadikan mami nanya soal pacar kamu, El?”

Elroy menggeleng, “Bukan pacar El, Mam.”

“Bukan pacar tapi gebetan!” Elroy mendelik. Anya masih dengan pendiriannya semula tentang Gendis.

“Mami rasa dia kandidat terbaik dan potensial untuk dijadiin pacar, El!”

Elroy berdecak sebal. Kini mami bersekongkol dengan Anya. Kakaknya itu bahkan bisa tersenyum puas mendengar kata- kata mami.

“Gue bilang juga apa!” See, benarkan!

“Baik, cantik, pintar! Apalagi coba yang lo cari?”

Elroy menghela nafas panjang, “Terserah yang penting gue nggak ada apa- apa dengan dia.”

“Ya sudah kalau begitu,” Mami tersenyum tipis lalu menatap Anya, “Jangan paksa adikmu!”

“Tapi, Mam…”

“Mending kita doain semoga mereka berdua jadian!”

Mata Elroy melebar. Anya cekikikan, Mami mengerling usil. Ck, mami apa- apaan sih? tapi tak urung Elroy tersenyum dalam hati. Riang canda tawa seperti ini nyaris tak pernah dirasakannya bertahun- tahun lamanya. Sungguh ia merindukannya.

“Terserah kalian lah!”

“Mari, Mam kita berdoa!” Elroy tak dapat menyembunyikan senyumnya saat mendengar pekikan Anya. Kakaknya itu terlihat senang. Mami juga. Binar kebahagiaan terlihat jelas di wajah keduanya.

Tiba- tiba sebuah ketukan menghentikan tawa ketiganya. Sebelah alis Elroy terangkat. Ia melirik ke Anya. Siapa? Tapi gadis itu hanya mengendikkan bahunya tidak tahu.

Elroy pun beranjak dari sofa lalu membuka pintu. Tubuhnya menegang seketika. Walaupun sudah bertahun- tahun tapi ia masih ingat dengan sosok yang kini berada di hadapannya.

“Ka…mu!”

-tbc-



Lampung, Sept 2015











1 komentar: