Rabu, 14 Oktober 2015

ELROY (25)



Bab XXV

Sebelumnya Disini


“Gue minta maaf.”

Keempat wajah pemuda terbeliak tak percaya. Kejutan. Benar- benar tak pernah diduga akan terjadi.

“Untuk?” Suara Bastian memecah keheningan yang sempat terjadi.

“Semuanya.” Elroy menarik nafas dalam- dalam lalu menghembuskannya perlahan. Dia sudah berjanji pada dirinya juga pada mami jika semua harus dilepaskan untuk hidup damai. Mencoba memulai dari awal kembali. Salah satunya adalah mulai memaafkan.

“Gue tahu selama ini gue bersikap terlalu menyebalkan pada kalian…”

“Ck, baru sadar lo?” Bastian melotot pada Adit yang seenaknya memotong ucapan Elroy.

Elroy hanya tersenyum tipis. Lagi- lagi ia menghela nafas berat, “Gue nggak tahu seberapa besar kebencian kalian karena sikap gue, yang pasti gue minta maaf.”

“Kenapa?”

Elroy menoleh. Matanya mendapati Tama yang mengernyit bingung, “Kenapa lo tiba- tiba minta maaf?”

Elroy mengendikkan bahunya, “Entahlah. Tapi gue rasa sudah saatnya gue berdamai dengan keadaan. “

Tama manggut- manggut lalu tersenyum simpul, ia melingkarkan tangan kanannya ke bahu Elroy. “Tenang aja bray, gue sih pasti maafin lo! Tapi sejujurnya buat gue lo nggak punya salah jadi buat apa minta maaf.”

Elroy mendengus karena sikap Tama namun tak urung senyum geli tercetak di wajahnya. Sesaat ia memandangi Bastian, Adit dan Kenzi bergantian. “Selain itu gue mau juga mau pamit.”

“APA?”

“What? Pamit?”

“Ck, mau kemana lo?”

“Gue harus nemenin mami. Beliau memutuskan pindah ke Jerman.”

“JERMAN!” Keempatnya ternganga.

“Kesehatan mami juga perlu perhatian serius. Jadi kita mutusin pindah ke sana.”

“Lo serius?” Tanya Bastian memastikan.

Elroy mengangguk. “Minggu depan gue berangkat.”

“MINGGU DEPAN!!”

“Sinting lo, El! Baru juga minta maaf udah mau pergi jauh.” Elroy terkekeh. Mulut Adit memang sadis tetapi dia tak pernah bermaksud jahat.

“Lo jangan ngelupain gue El kalau udah ketemu bule- bule cantik di sana.” Kini Kenzi yang bersuara. Jauh di lubuk hatinya Elroy bisa tersenyum lebar, mereka berempat ternyata selama ini benar- benar tulus berteman dengannya. Meski diwarnai dengan segala permasalahan, tetap saja mereka yang akhirnya tetap berada di sisinya. Memberi dukungan dengan cara masing- masing.

“Entar gue suruh satu cantik kenalan sama lo deh, Ken!”

“Yak, kalau gitu gue juga mau, El!” Protes Tama yang disambut gelak tawa Elroy dan yang lain.

“Gue juga kalau gitu,” Ujar Adit tak mau kalah.

Elroy hanya manggut- manggut sembari tertawa. Beban hidupnya terangkat sudah, ternyata memaafkan itu memang indah.

“El,” Tawa Elroy terhenti sejenak. Ia menatap Bastian, “Gimana dengan Gendis?”

Elroy tertegun. Gendis? Argh, gadis itu….

***

“Mereka berpisah!”

Elroy mengangguk pelan. “Tetap saja tak mengubah semuanya.”

“Dia benar- benar tak tertolong.”

“Akibat serakah.”

“Lo benar. Keserakahannya menghancurkan segalanya.”

Elroy tersenyum kecut, ditatapnya Anya intens. “Tapi biar bagaimanapun dia tetap ayah kita.”

“Lo masih peduli dengannya?” Anya mencibir. “Gue kira lo nggak akan peduli dengannya.”

Elroy meringis. Anya terlampau terluka, padahal dia tahu betul jika Anya teramat dekat dengan papinya. Kakaknya benar- benar kecewa.

“Lo tahu Nya, selama ini dia terus menjaga kita dengan caranya.”

Anya mendengus. “Gue kira dia nggak pernah peduli dengan kita.”

Elroy menggeleng. “Gue nggak pernah ngerti cara berpikir papi. Tapi gue tahu dia selalu mengawasi kita dari jauh.”

“Dan sekarang dia kehilangan kita.”

“Dia nggak akan kehilangan kita, Nya. Bagaimanapun kita tetap anaknya. Darah dagingnya.”

“Kenapa lo jadi bela dia. Bukannya lo benci dia?”

Elroy terdiam. Ia menggeleng sesaat. Bertahun- tahun keluarganya hidup berantakan karena kebenciaan, dendam dan sakit hati. Kini seteah semua diakhiri masihkah dendam harus terus disimpan. Bisakah hidupnya damai jika masih menyimpan dendam.

“Kita nyuruh mami untuk melepaskan semuanya. Ikhlas dan damai supaya hidup lebih tenang dan bahagia. Kenapa kita juga nggak melakukan hal itu?”

Anya tertegun.

“Sudahlah, Nya lupakan semuanya! Kita berjanji kan sama mami memulai semuanya dari awal.”

“Kita itu berarti nggak cuma mami, tapi juga gue dan lo.”

Anya memilih diam. Tapi dia mendengarkan baik- baik ucapan adiknya.

“Lo yang pilih tetap stay di sini. Itu berarti lo masih bisa jagain papi.”

Anya mendelik. “Kok gue?”

“Nya!”

“…,”

“Apapun yang terjadi beliau tetap ayah kita. Anggep aja lo lakuin ini juga demi mami.”

“Oke- oke! Demi mami. Deal!”

“Deal!”

***

Mencintai tidak selalu harus memiliki

Mencintai bukanlah saling menyakiti

Mencintai adalah bagaimana melihatnya hidup bahagia

Arggghhh….

Elroy berdecak dalam hati. Ia mengacak rambutnya gusar. Mengapa jadi terasa lebih sulit ketika tersebut nama Gendis. Siapa perempuan itu? Ck, ia bahkan belum lama mengenalnya. Cewek sadis, galak dan menyebalkan yang selalu menempel padanya. Dulu ia sangat terganggu dengan keberadaan gadis itu, tetapi kini…

Mengapa terasa berat?

“Mami nggak maksa kamu untuk ikut, El!” Elroy mendongak. Astrid muncul dari balik pintu kamarnya. “Kamu bisa tinggal di sini kalau kamu mau.”

“Dan membiarkan mami di sana berjuang sendirian?” Elroy berdecak. Tidak ia takkan pernah membiarkan hal itu terjadi.

Astrid tergelak, Ia mendudukkan tubuhnya di tepi ranjang sembari memperhatikanElroy yang tengah mengemasi pakaian. “Hei, mami kamu ini masih muda ya! Masih bisa keliling eropa sendiri.”

“Memang kapan El bilang mami tua!” Selorohnya kemudian. “Mami masih muda kok, masih kece lagi!”

“Masih bisa dapet om- om bule ganteng di sana nanti!” Lanjutnya berbisik namun berhadiah cubitan dari sang bunda.

“Kamu itu ya sekarang berani ngejahilin mami!”

Elroy terkekeh. Jauh di dalam hatinya ia merasa sangat bahagia. Keputusan perpisahan memang tepat meski bukan hal baik ditiru. Mami sekarang terlihat lebih ceria. Kini ia bisa menerima dengan ikhlas semua yang telah terjadi didirinya. Elroy juga merasa mami lebih perhatian dan terbuka terhadapnya dan Anya.

Beliau benar- benar menepati janjinya.

“El?”

“Hmm,”

“Kamu yakin?”

Elroy mendesah. Untuk kesekian kalinya mami bertanya lagi, gumamnya dalam hati. “Apa yang membuatku ragu sih, Mam?”

“Kebiasaan. Ditanya malah balik nanya.” Astrid tersenyum simpul sebelum melanjutkan kata- katanya. “Ya mungkin saja sesuatu atau…,”

“Seseorang.”

Elroy menghembuskan nafas dengan gusar. Ia membuang muka. Dia jelas tahu apa yang dimaksud ibunya. “Nothing, Mam. Nggak ada yang membuatku ragu.”

“Termasuk gadis itu?”

Telak.

Jemari Elroy yang tengah memasukkan pakaian dalam koper terhenti. Ia mendengus sesaat namun tak lama tangannya kembali menyelesaikan kegiatannya.

“Aku dan dia nggak ada apa- apa kok, Mam.”

“Tapi kamu mencintainya kan?”

Dua kosong.

Sh*t! Elroy mengumpat dalam hati. Ia menghentikan kegiatannya lalu menghampiri ibunya. Sejenak ia menarik nafas dalam- dalam lalu menghembuskannya perlahan.
“Mam,”

“Hmm,”

“Mami nggak pengen aku ikut ya?”

“Huss!” Refleks Astrid memukul bahu Elroy pelan, “Mana ada ibu yang nggak mau tinggal sama anaknya. Ngawur kamu!”

“Kalau gitu kenapa?”

“Sayang, dimanapun di dunia ini kebahagian terbesar seorang ibu adalah melihat anaknya bahagia. Dan mami juga pengen lihat kamu bahagia, El. Mami nggak akan larang kamu tinggal di sini. Mami janji mami akan baik- baik saja!”

Elroy menggeleng, “Aku bahagia juga bila lihat mami bahagia.”

“Ta..tapi…,”

“Mam,” Elroy memotong dengan cepat kata- kata ibunya. “Usiaku masih muda, dia juga. Masih banyak mimpi yang pastinya ingin kami raih, Mam. Jadi biarlah waktu yang akan mempertemukan kami lagi…,”

“Itupun jika kami berjodoh.” Lanjut Elroy yang membuat Astrid tercengang sesaat. Dihelanya nafas panjang, dia tumbuh jauh lebih dewasa.

“Trust me, Mam.”

Astrid mengangguk lalu memeluk tubuh anaknya. “Mami percaya. Mami selalu percaya padamu, El!

***

“Lo mau pergi?”

Elroy terhenyak. Ia mendongak. Gendis berdiri tepat di hadapannya dengan ekspresi yang tak bisa ditebak Elroy. Datar. Teramat datar.

“Ck, lo nggak pamitan sama gue, El?” Desah Gendis sembari mendaratkan tubuhnya di kursi panjang tepat di sebelah Elroy.

“Tau darimana lo? Anak- anak?”

“Cih! Temen- temen lo itu setia kawan banget sekarang.” Gendis menggeleng, “Gue tahu dari bisik- bisik cewek- cewek di toilet tadi pagi. Gue coba tanya ke temen- temen lo nggak ada yang jawab, gue disuruh nanya langsung ke lo.”

Elroy mendengus. Lagi- lagi dia menjadi bahan pembicaraan sekampus. Tapi sudahlah toh selama ini dia tak pernah peduli apapun yang dikatakan orang padanya.

“Apa ini berkaitan dengan…,” Sesaat Gendis diam. Ia menatap Elroy ragu, “Dengan perceraian itu?”

“Mungkin.” Elroy mendesah. “Mami ingin tenang. Dia memutuskan pindah ke luar negeri.”

“Bebas gossip.” Lanjutnya yang disambut kekehan Gendis.

“Kak Anya?”

“Anya tetap di sini. Gue aja yang ikut.”

Gendis manggut- manggut. Jadi ini alasan Elroy. Tak mungkin laki- laki itu membiarkan ibunya pergi sendiri. Anak baik! Argh, tapi kenapa ada yang salah dengan hati ini?

“Kesehatan mami juga jadi prioritas kami.” Elroy menghela nafas berat. Ketika perceraian kedua orang tuanya telah diputuskan dia memang bertekad akan selalu berada di samping maminya. Meski terlihat tegar dan kuat, Elroy tahu maminya sangat rapuh. Bertahun- tahun mencintai orang, berharap akan kembali bersama namun akhirnya harus melepaskan itu cukup menyakitkan. Menggoreskan luka yang entah kapan bisa sembuh.

“Kapan kalian berangkat?”

“Lusa.”

Keterkejutan tak dapat ditutupi Gendis. Secepat itu?

Sesaat hening.

“El.”

“Ndis.”

Keduanya berbicara secara bersamaan. Gendis tertawa, Elroy tersenyum simpul.

“Lo mau ngomong apa?” Tanya Gendis duluan.

“Gue mau minta maaf.” Kata Elroy akhirnya. “Sorry untuk semua sikap kasar gue dan thanks banget…

“Nggak pantes, El!” Elroy mengernyit heran saat Gendis meotong ucapannya. “Lo tuh nggak pantes bersikap lembut gitu. Elroy yang gue kenal itu sadis, dingin, datar, nyebelin, rese, sok kuasa pula!”

Elroy tersenyum tipis mendengar makian Gendis. “Ck, lo nyindir gue?”

“Ngerasa?” Cibir Gendis.

“Nggak!”

“Tersinggung?”

“Nggak juga!” Tak lama gelak tawa terdengar dari keduanya. Elroy menggelengkan kepalanya, entah sejak kapan Gendis memang selalu bisa menguak sisi lain dirinya.

“Kita masih muda, Ndis.”

“Hah!”

“Gue yakin lo masih punya banyak mimpi yang harus diraih kan?” Gendis mengangguk. “Suatu saat ketika gue kembali, gue pengen lihat lo jadi psikolog sukses!”

Gendis mengembangkan senyuman. Dia bukan gadis bodoh yang tak paham kata- kata Elroy. Elroy benar, mereka masih terlalu muda. Masih banyak cita- cita yang ingin digapai. Kelak akan ada waktu yang tepat untuk kisah keduanya.

Thanks.”

“Untuk?” Sebelah alis Elroy terangkat bingung.

“Semuanya!”

Elroy bisa bernafas lega. Gendis memahaminya. Meski sejujurnya ada perasaan tak nyaman bergelayut di hatinya, dengan cepat ia buang jauh- jauh.

Semua ada saatnya, El!

“Berjanjilah!”

“Apa?”

“Jangan pernah lupain gue.”

“Astaga Ndis! Apa guna skype, email, facebook kalau gitu!”

Gendis tertawa. Tawa yang mampu menghangatkan hati Elroy. Tawa yang selanjutnya akan dirindukannya.

Bersabarlah, Ndis. Semua pasti akan indah pada waktunya.

-end-















1 komentar: