Jumat, 26 Februari 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (7)


Tujuh

Sebelumnya di sini

Mirah memijit pelipisnya berulang kali. Dihelanya napas berat sebelum akhirnya memejamkan matanya perlahan. Pada akhirnya dia tahu apa yang membebani ibunya hingga sampai harus dirawat di rumah sakit. Kumala menelepon, Mirah pun memaksa adiknya untuk bercerita hal yang sebenarnya terjadi di rumah sepeninggal dirinya. Tak mungkin jika Kumala tak mengetahui sebab sebenarnya.

Alvina, adiknya. Si tengah diantara ketiga bersaudara itu tengah mengalami prahara rumah tangga. Suaminya beristri lagi. Alvina yang menolak dipoligami pun harus menerima resiko ditalak suaminya. Jelas itu bukan hal yang menyenangkan untuk diterima ibunya. Ibu mana yang tak frustasi anaknya akan menjadi janda.

Ya Tuhan, Lindungi emak…

Mirah tak pernah tahu, dosa apa yang telah diperbuat keluarganya hingga kemalangan bertubi- tubi menghampiri. Yang dia tahu, beban di pundaknya akan semakin berat. Alvina dicerai itu berarti adiknya akan kembali pulang kerumah berikut beserta kedua anaknya.

Akan ada tambahan tiga kepala yang harus diberi makan, bukan?

Tapi dibanding itu semua, Mirah memikirkan pula kondisi Alvina. Ia pernah ada di masa terpuruk karena pengkhianatan suaminya dan kini membayangkan adiknya mengalami hal sama, Mirah hanya bisa menggeleng sedih.

Perempuan boleh terlihat tegar dan kuat. Perempuan juga makhluk pemaaf, tetapi sekali hati tersakiti seumur hidup itu pula luka itu takkan pernah benar- benar sembuh.

***

“Seperti ini sudah biasa, Mir.”

Mirah hanya terdiam. Teh Nena menceritakan kenapa akhirnya ia menjadi seorang istri kontrak dari Josh. Di kampungnya nikah kontrak hal biasa. Bayaran tinggi tentu menjadi alasan terbesar. Bahkan banyak orang tua mendukung anaknya untuk berprofesi sebagai istri kontrak. Toh, pernikahan benar- benar terjadi, meskipun hanya siri. Ada penghulu dan wali. Jadi tak melanggar apapun.

The Nena sendiri sudah menikah selama tiga kali. Pertama kali ia menikah dengan seorang pria asal Arab. Pengusaha yang tengah merambah bisnis hingga Indonesia. Pernikahan dengan sang arab bertahan selama setahun setengah. Sedangkan pernikahan kedua The Nena dengan lelaki berkebangsaan korea yang bekerja di salah satu perusahaan asing di Indonesia. Lelaki itu menjadi suaminya selama dua tahun hingga akhirnya ia kembali ke Korea. Dan Josh, lelaki asal Irlandia inilah yang ketiga. Sebenarnya Josh tak menginginkan adanya pernikahan karena pemikiran bebasnya, tapi The Nena ngotot kalau menginginkan dirinya berarti harus ada pernikahan.

“Jadi teteh pertama kali dengan orang arab itu?”

Nena menggeleng, “Jauh sebelumnya saya sudah menikah, Mir. Nikah muda. Kami pisah karena Kang Gani suka mukulin saya. Saya nggak kuat akhirnya minta dicerai aja. “ Ujarnya sembari menyebutkan nama suami.

“Anak?”

“Ada satu, dia sama neneknya di kampung.”

Mirah manggut- manggut, “Sama yang lain?” Tanyanya hati- hati. Takut menyinggung. Tapi Nena sepertinya tak bermasalah, kepalanya menggeleng.

“Ada perjanjiannya Mir, saya nggak boleh hamil. Lagipula buat apa juga hamil. Kasian atuh anaknya nanti bakal nggak tahu bapaknya.”

“Iya ya.” Sesaat Mirah terdiam. Sejujurnya ia ingin bertanya apakah Nena bahagia menjalani semuanya. Menikah karena perjanjian, dibatasi waktu pula. Kok Mirah merasa sama sekali tak enak. Dia saja yang bercerai, sakit hatinya masih ada apalagi ini berpisah berkali- kali.

Mirah menghela napas panjang, sudahlah biarkan itu menjadi urusan Nena! Dia tak berhak bertanya lebih jauh jika Nena sendiri tak mau bercerita.

Hidup masing- masing, kan?

***

“Mir! Mir!”

Mirah menoleh. Lina mendekatinya, “Itu cowok cakep ya?” Bisik gadis itu di telinganya. Mirah mengernyit namun detik selanjutnya ia mengalihkan pandangan ke arah yang dimaksud Lina. Seorang laki- laki bertubuh tinggi masuk ke dalam restaurant. Sesaat ia terlihat celingukan hingga akhirnya Adri, rekan kerja Mirah yang lain mendekatinya. Mereka berbicara sesaat, tetapi tak lama Adri membawa lelaki itu ke lantai dua.

“Cakep kan ya kayak yang main the heirs?”

Mirah mengernyit lalu menatap Lina, “The Heirs?”

“Astaga, Mir. Elu nggak tahu The Heirs?” Lina menepuk jidatnya sendiri sembari menggeleng geli. “Ck, emang di kampung elu nggak pernah nonton drakor yak?”

Mirah menggeleng. “Aku nggak nonton drakor.”

“Ya elah, Mir. Hari gini kagak nonton drakor. Keren- keren, Mir lakinya. Ceritanya juga bagus loh. Eh mau gue pinjamin CDnya. Besok gue bawain dah1”

Lagi- lagi Mirah menggeleng, “Nggak usah. Di kosan aku nggak ada TV.”

“Belilah, Mir!” Cibir Lina. Mirah tersenyum tipis menanggapinya.

“Belum butuh, Lin. Lagian siapa yang nonton, aku kan kerja,” Tukas Mirah, mending buat dikirim ke kampung juga, lanjutnya dalam hati.

“Oh iya, y…,”

“Heh? Ini malah ngobrol lagi berdua?” Tiba- tiba manajer sudah berkacak pinggang di hadapan mereka. Mirah menunduk takut- takut. Sesaat ia melirik Lina yang dalam kondisi sama. “Sana kerja! Masa mau makan gaji buta aja kalian!”

Ck, punya atasan geh menyebalkan….

Selanjutnya di sini
***

=tbc=

Note. Paling susah emang konsisten sama waktu. Hiks… manajemen waktu saya untuk posting ini berantakan. Mohon maaf untuk semua pembaca. Tapi diusahakan setiap seminggu sekali akhir pekan pasti ngepost. Sekali lagi maaf.

Terima kasih.

2 komentar: