Minggu, 12 Juni 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (17)




sebelumnya di sini

“A--Apa kabar, Mir?”

Mirah tersenyum tipis. Dihelanya napas dalam-dalam, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan mantan suaminya. “Ba—baik. Abang?”

“Baik.” kepala Faisal manggut-manggut. Jelas keduanya bukan dalam suasana yang baik. Sama-sama canggung juga kikuk. Nyaris tiga tahun berlalu sejak perceraian, mereka tak pernah bertemu. Sama sekali. Sejujurnya dalam hati, Mirah ingin cepat-cepat pergi dari hadapan Faisal. Atau tadi ia membuang muka saja ketika beradu pandang dengan laki-laki itu. Tapi entah mengapa hatinya menolak melakukan semuanya. Walau sebentar, setidaknya ia ingin menatap wajah laki-laki yang pernah dicintainya. Laki-laki yang pernah menjadi suaminya.

Rindukah?

Ah, Mirah tak tahu. Ada bagian dari hatinya yang bersorak senang ketika akhirnya bertemu dengan Faisal.

“Mir, Ayo!”

Mirah tersadar seketika. Daud ternyata sudah berada cukup jauh dari tempatnya berdiri. Temannya itu bahkan berinisiatif untuk kembali berjalan ke arahnya. “Nanti bisa kemaleman kita,” lanjutnya pada Mirah.

Mirah meringis. Sesaat ia mengangguk. Daud kembali berbalik. Mirah pun kemudian menatap Faisal. “Permisi, Bang. Aku harus pulang.”

“Tunggu, Mir!” Faisal menahan lengan Mirah.

Mirah mengernyit tak suka, dan Faisal buru-buru melepaskannya. “Ma—maaf!”katanya yang dijawab anggukan Mirah.

“Ka—mu…,” Faisal menarik nafas panjang sejenak. “A—ku bisa tahu nomor hape kamu,”

Mirah diam berpikir.

“Banyak yang harus kita bicarakan, Mir.”

“Tentang?”

“Semua. Termasuk Rania. Anakku.”

Mirah mencibir dalam hati. Anakku, katanya. Kemana saja ia selama ini? Kenapa tak pernah sekalipun datang mengunjungi Rania? Mengapa baru sekarang?

Namun semua kata-kata itu hanya terungkap di dalam hati Mirah. Alih-alih menyuarakan isi hati Mirah justru mengangguk perlahan lalu menyebutkan nomor ponselnya. Bodoh kamu, Mir! peringatnya dalam hati.

Ah, sudahlah yang lalu biarlah berlalu!

Tapi yang lalu itu menyakitkan, Mirah. Dan penyebabnya mantan suamimu ini…

“Ya udah yuk, Bang. Aku permisi!” Mirah mengabaikan peperangan dalam hatinya. Sepertinya pergi lebih cepat lebih baik. Apalagi sejak tadi Daud sudah menunggunya dengan tampang tak bersahabat. Terlihat gusar.

“Ya ya, Mir. Nanti aku hubungi kamu.”

Mirah hanya mengangguk sekilas lalu berlalu meninggalkan Faisal. “Siapa, Mir? Kayaknya lo kenal banget?” tanya Daud saat langkah keduanya bersamaan menuju parkiran.

Mirah tersenyum tipis lalu menggeleng. “Teman.” Sahutnya singkat.

“Oh,” mulut Daud membulat dan tak lagi berkomentar apa-apa. Apalagi kini mereka sudah menemukan mobil Daud. Tak lama mobil pun meluncur meninggalkan Bandara. Sejenak Mirah menarik nafas panjang.

Akhirnya, ia pun kembali….

***



“AYUK!”

Nyaris pukul 7 malam, Mirah sampai di depan rumahnya. Dan Kumala orang yang pertama kali melihatnya langsung berhambur keluar rumah untuk memeluknya.

“Ya ampun, Mala kira mobil siapa tadi? Nggak tahunya Bang Daud ngantar Ayuk. Ayuk kok nggak bilang-bilang mau pulang sih. Kaget kan jadinya Mala,”

Mirah hanya tersenyum tipis mendengar celoteh adik bungsunya. Kumala memang paling cerewet diantara saudara-saudaranya.

“Berisik memang Kumala ini.” Daud menggeleng geli. “Harusnya ayuk kau suruh masuk dulu. Buatkan minum, kasih makan. Ini kau omeli, Mal!”

“Eh, iya-iya!” Kumala nyengir.

Mirah kembali tersenyum. Ditatapnya Daud lalu ia mengeluarkan dompet lalu mengulurkan uang untuk membayar ongkos Daud.

“Gede amat, Mir. Nggak ada kembalian ini,” ujar Daud sesaat setelah menerima uang Mirah.

Mirah menggeleng. “Nggak usah dikembaliin. Rezeki buat Saniah.” Katanya sembari menyebutkan nama istri Daud yang sudah dikenalnya.

“Serius, Mir?” Mirah mengangguk dan Daud tersenyum senang. “Aih, makasih ini ya. Kudoakan makin sukses lah.”

“Amin.” Kompak Mirah dan Kumala menyahut. Tak lama daud pun pamit pulang, menyisakan kedua kakak beradik di depan rumah.

“Sepi amat, Mir? Pada kemana?” tanya Mirah kemudian.

“Lah kan lagi pada minep tempat Uwak Ros. Si Ana nikah besok, Yuk! Eh, bukannya aku udah bilang sama Ayuk ya?”

Mirah meringis. Kumala memang pernah cerita. Apapun tak luput darinya untuk diceritakan tapi memang dirinya saja yang lupa. Siapa kira ternyata acaranya besok.

“Emak juga ke sana? Rania?”

“Ya Emak kesana, Yuk. Bisa ngamuk Uwak kalau Emak nggak hadir kan? Tapi tenang aja aku udah bilang Yuk Vina untuk jaga-jaga kondisi Emak. Udah aku bawain obat juga.”Jelas Kumala. “Lagian Emak juga baru tadi sore kok, Yuk berangkatnya. Paling besok udah pulang.

“Uwak Ros juga ngertilah. Aku udah bilang. Eh, kalau Rania ada di kamar. Udah tidur.” lanjut Kumala lagi.

Kepala Mirah manggut-manggut. Mereka kini sudah berada di dalam rumah. sedetik kemudian Mirah menghela napas panjang. Ada rasa hangat dan bahagia yang meluap saat kakinya menginjak kembali rumahnya. Tempatnya bertahun-tahun menghabiskan hari.

Ini yang namanya pulang…

“Eh, Yuk malah bengong?” tegur Kumala. “Kangen rumah ya?”

Mirah mengangguk perlahan. “Kangen banget, Mal. Sebagus-bagusnya di sana, tetap aja lebih nyaman di rumah sendiri.”

“Oh ya?” sebelah alis Kumala terangkat.

Mirah kembali mengangguk. “Percaya deh kamu kalau udah merantau ngerasain banget nyamannya tinggal di rumah.”

Kumala tertawa. “Yayaya. Tapi beneran boleh nih merantau?”

Mirah terkesiap. Ia memang pernah mewanti-wanti Kumala untuk tidak merantau terutama ke ibukota. Cukup dirinya saja yang mengalami kesulitan, adiknya tak boleh. Meski Kumala gadis pemberani dan mandiri, tetap saja Mirah tak rela.

“Nggak usah. Kamu jaga Emak aja.”

Kumala mencibir. “Ya si Ayuk galau nih!”

“Udah ah!” Mirah mengibaskan tangan kanannya. “Ayuk mau mandi. Kamu siapin makan ya! Ayuk lapar.”

“Ok.”

Sejurus kemudian, Kumala sudah menghilang menuju dapur. Dengan perlahan Mirah memasuki kamarnya. Lampu terpasang redup, tapi Mirah dapat melihat anaknya tengah tertidur pulas. Pelan-pelan Mirah menghampiri ranjang. hatinya mencelos ketika dilihatnya beberapa luka di tangan dan wajah Rania.

Maafkan Ibu, Nak…

Kecelakaan memang musibah tetapi tak menutup kemungkinan juga merupakan kelengahan dari orang dewasa di sekitarnya. Namanya anak-anak, control orang tua itu penting. Dan Mirah merasa dirinya paling bersalah.

Harusnya kan ia lebih mengawasi Rania. Ia ibunya.

Maaf—maaafkan Ibu, Ran…

Dengan lembut dan perlahan, Mirah mengecup kening Rania. Ditariknya selimut yang berserak di ujung ranjang untuk kemudian meneyelimuti gadisnya.

Tidur nyenyak ya, Nak. Ibu akan menemani malam ini, bisiknya sembari turun dari ranjang lalu keluar kamar.

“Yuk, Emak!”

Mirah menoleh. Kumala menyodorkan ponselnya. Mirah mendengus. Ah, adiknya ini memang tak pernah sabar. Buru-buru pasti ia tadi mengabari keberadaan dirinya pada sang Ibu.

“Ya, Mak!”

“Ya ampun, Mir. Kamu pulang nggak bilang-bilang?”

Mirah meringis. “Tadi mendadak si bos ngasih izin, Mak. Jadi Mirah bisa pulang.”

“Tau kamu pulang, Emak nggak kesini,”

“Ya jangan gitu, Mak. Nggak enak sama Wak Ros. Udah nggak papa. Ada Kumala ini!”

Sesaat hening.”Ya udah kalau gitu. Untung tadi udah dikirim makanan sam Uwakmu. Besok kamu ke sini?”

“Nggak tahu, Mak? Kan Rania lagi sakit?”

“Aturlah sama Kumala, Mir. Ini semua tahu kamu pulang juga.”

Mirah mendesah. “Iya Mak.” Katanya lirih. Sejujurnya ia enggan muncul di acara keluarga. Terlalu banyak pertanyaan yang membuat kepalanya pusing. Dari soal kapan mengakhiri masa janda, laki-laki yang mendekatinya dan sekarang pasti tak jauh dari pekerjaannya di ibukota. Itu tak masalah jika hanya pertanyaan, tapi Mirah hafal betul karakter-karakter sebagian saudaranya. Nyinyir. Sungguh, ia tak ingin pergi tapi tak mungkin juga membantah perintah Emak.

“Ya sudah kalau begitu. Istirahatlah!”

“Iya.”

Dan sesaat setelah sambungan terputus, Mirah melotot pada Kumala. “Ck kamu ini, Mal! Malah telpon emak lagi. Bilang-bilang ayuk dulu ngapa?”

“Argh, kan ujungnya Ayuk disuruh ke sana.”

Kumala meringis. Saking senangnya kakaknya pulang, ia memang buru-buru mengabari Ibunya. Lupa mempertimbangkan Ibunya yang kini berada dalam lingkaran keluarga besar.

“Maaf, Yuk!”

Mirah menghela napas pendek sebelum kemudian melengang pergi menuju kamar mandi. Maaf Kumala pun tiada guna sekarang.

***

“I—IBU!”

Mata Rania mengerjap lalu dikuceknya berulang kali. Memastikan bahwa sosok yang tengah tersenyum di depannya adalah Ibunya, Mirah.

“Halo anak cantik. Ayo, bangun udah siang!” sapa Mirah yang seketika mendapat pelukan Rania.

Mirah terkekeh sejenak. Diusapnya lembut puncak kepala anaknya. “Kangen sama Ibu ya?”

Rania mengangguk dalam pelukan Mirah. “Iya. Kangen banget. Ibu sih nggak pulang-pulang.”

“Ibu kan kerja, Ran. Cari duit buat Rania sekolah kan?”

“Iya. “

Mirah merenggangkan pelukannya. Diamati beberapa luka gores dan lebam yang ada di tangan, kaki dan wajah anaknya. Beberapa diantaranya sudah mongering.

“Sakit nggak?” tanya Mirah hati-hati.

“Udah nggak.” Rania menggeleng. “Paling yang ini aja!” Kata Rania menunjuk luka besar yang masih belum kering benar di siku kanannya dan di betis kanan.

Mirah menggeleng sedih. “Lain kali hati-hati ya, Ran!”

“Iya.”

Mirah terdiam. Tak lama ia tersenyum. “Ya udah yuk bangun! Ibu sudah siapin sarapan. Kangen nggak sama masakan Ibu?”

“Kangen lah, Bu.” Wajah Rania berbinar senang. Seketika tangannya terangkat. Mirah mengernyit bingung.

“Gendong…”

Mirah berdecak namun tak urung mengangkat tubuh Rania. Beruntung tubuhnya kecil sehingga Mirah masih kuat menggendongnya.“Manja, huh!”

“Biarin,” ujar Rania sambil menjulurkan lidahnya.

Mirah tertawa. Momen-momen seperti ini yang selalu dirindukannya saat jauh dari Rania. Gadis kecilnya sebenarnya tumbuh menjadi gadis yang mandiri dan berani tapi tetap saja ada saat-saat dimana Rania masih senang bermanja-manja hanya dengannya.

Namanya anak-anak.

“Bu…,”

“Hmm,” Mirah menyahut pendek.

“Jangan balik lagi ke Jakarta ya,”

***

selanjutnya di sini


2 komentar: