Sabtu, 16 Juli 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (24)




Dua Puluh Empat

sebelumnya di sini

“Astaga! Cerai lagi!”

Mirah mendongak. Dilihatnya Miss Anna, salah seorang pengajar tengah menggelengkan kepala sambil menatap tablet di tangannya. Suaranya cukup keras, sehingga tak hanya membuat Mirah saja yang penasaran, tapi juga beberapa pengajar yang masih belum pulang meski jam sekolah telah berakhir.

“Apaan sih, Miss?” tanya Lilian penasaran.

“Ini loh teman aku, baru juga nikah setahun udah cerai. Padahal ini pernikahannya yang keempat,”

“Keempat? Yang benar aja!”

“Wooo, hebat amat Miss temannya,”

“Cantik pasti Miss temannya.” Sontak beberapa suara terdengar bersahutan menimpali.

“Iya! Tahu deh tuh orang demen amat gonta-ganti suami. Tau deh kenapa,” jelas Miss Anna.

“Biasanya financial Miss?” celetuk salah satu pengajar.

Bahu Miss Anna mengedik. “Nggak tahu. Cuma pernah ada yang bilang dia kontrak gitu sama suaminya,”

“Nikah kontrak maksudnya, Miss.”

Deg.

Mirah yang awalnya menghiraukan obrolan para pengajar mau tak mau terusik. Pernikahan kontrak?

Itu kan…

“Iya.”

“Ish Miss awas fitnah loh,”

Miss Anna menggeleng. “Nggak lah. Si Risa teman aku ini pernah cerita sama teman kita yang lain. Nah udah deh jadi kesebar kemana-mana,”

“Duh, mulut cewek ya Miss…”

Tawa pun pecah. Mirah menggeleng. Kaumnya kalau sudah mengobrol suka lupa dengan keadaan. Bahkan tak jarang saling membuka aib.

“Eh tapi ngomong-ngomong soal nikah kontrak ya, ada kan beberapa daerah yang wanita-wanitanya melakukan nikah kontrak. Penghulu aja disiapin loh,”

Kepala Mirah sedikit terangkat. Dilihatnya Miss Lilian yang baru mengatakan hal itu.

“Kan pernah tuh diangkat film?”

“Iya-iya!”

“Ah, padahal kan nikah kontrak itu nggak boleh ya?” suara Miss Anna kembali terdengar.

“Nggak boleh Miss, di agama kan juga dilarang. Masa nikah main-main.”

“Masalahnya perempuan jadi pihak yang dirugiin,” timpal Lilian.

“Tapi kan dibayar gitu, Miss?”

“Dibayar cuma buat muasin nafsu doang kan? Bukannya sama aja kayak kupu-kupu malam?”

“Sama aja sih, tapi bahasanya diperhalus karena pake kata nikah.”

“Iya sih bener juga. Kalau hamil gitu kasian kan anaknya, entah kemana bapaknya,”

“Nah itu nggak cuma ngerugiin perempuan tapi anak-anak. Pernikahan kayak gitu kan biasanya siri. Nggak resmi. Nah bingung kalau punya anak,”

Kepala Mirah pusing seketika. Obrolan para pengajar kali ini telak menyindirnya. Mereka memamg tak tahu, hanya kebetulan topic yang diangkat kali ini mengena pada dirinya.

Kupu-kupu malam? Pelacur? “Heh, ini kenapa masih belum pada pulang?” Kanaya keluar dari ruangannya dan bergabung. “Seru nih rumpiannya. Ngerumpi apaan sih?”

“Bukan ngerumpi Miss, Cuma kebetulan lagi negbahas nikah kontrak.”

“Nikah kontrak?” Dahi Kanaya berkerut.

“Ini ada teman Miss Anna yang melakukan pernikahan kontak. Jadi lah akhirnya obrolan melebar gitu ngomongin soal nikah kontrak,”

“Oh gitu…” Kepala Kanaya manggut-manggut.

“Menurut Miss Kanaya sendiri gimana?”

Kepala Kanaya menggeleng sesaat. “Pernikahan itu sakral jadi nggak boleh lah dibuat main-main. Lagian dalam agamaku kan haram hukumnya. Nggak ada itu kawin-kawin kontrak. Nikah ya nikah beneran lah.”

Deg.

Hati Mirah terasa mencelos seketika. Haram berarti dosa!

“Biasanya masalah ekonomi latar belakangnya Miss,”

Kepala Kanaya menggeleng lagi. “Rezeki udah diatur. Cari dengan cara halal. Lagian kayaknya populasi jomblo juga banyak. Mereka tuh pasti mau diajak nikah serius,”

“Ya Miss Kanaya bawa-bawa jomblo nih!” terdengar protes dari Miss Lilian.

“Loh iya kan?”

“Yang jomblo protes! Yang jomblo protes!”

Tak lama tawa kembali pecah. Obrolan pun detik kemudian sudah berganti topic. Mirah mendesah panjang. sedari tadi ia memilih diam dan mendengar baik-baik semua yang diobrolkan para pengajar dan Kanaya.

Ck, Tidak semuanya semudah dikatakan, bisiknya dalam hati.

Mudah bagi mereka berkata demikian karena tak pernah mengalami keadaan seperti dirinya. Tekanan masalah dan hidup yang terlalu berat. Tak ada jalan lain yang bisa ia lakukan saat itu. Satu-satunya cara tercepat untuk mendapatkan uang untuk Emak dan Rania adalah menikah. Nikah kontrak.

Mata Mirah terpejam sejenak. Sejujurnya ia sakit hati saat disamakan dengan pelacur, tapi sisi hatinya yang lain membenarkan tuduhan itu. Toh walaupun berstatus istri, ia tak tahu banyak tentang Dae Ho. Bahkan dimana lelaki itu bekerja saja, dirinya tidak tahu. Selama ini yang dilakukan hanya melayani kebutuhan Dae Ho terutama di atas ranjang. Ingatannya Mirah berkelebat pada saat beberapa hari lalu Dae Ho tetap memaksanya padahal ia baru saja kembali.

Mereka benar, ia hanya pemuas nafsu.

Sudah, Mir! Sudah! Abaikan mereka,ujar Mirah dalam hati. Mereka tak pernah tahu apa yang kamu alami. Mereka tak pernah menjadi dirimu. Toh hidupmu adalah hidupmu. Selama dirimu tak mengusik hidup orang lain, kenapa harus dipermasalahkan.

Kepala Mirah manggut-manggut. Benar seperti itu. Hidupnya dalah urusannya. Jadi buat apa memikirkan ucapan orang lain bukan?

***

Mirah bisa jadi sudah membulatkan tekad untuk tak peduli dengan ucapan orang lain, tetapi pada kenyataannya benaknya tak lepas untuk kembali memikirkan tentang nikah kontrak. Berkali-kali ia menghela napas pendek lalu berdecak kesal.

Ah, sudah lupakan Mirah! Jalani saja…

Semua tak semudah itu.

Argh…

“Mirah!”

Mirah tergagap. Nena telah berdiri tegak di depannya. Senyum wanita itu merekah. Buru-buru Mirah bangkit dari kursi dan mencium kedua pipi Nena.

“Teteh apa kabar? Kapan balik?” ujarnya kemudian.

“Baru kemarin.”

“Seru ya Teh diajak ke luar negeri?”

Nena nyengir dan mengangguk. “Iya,” jawabnya sambil menarik kursi untuk diduduki. Mirah pun mengikuti kemudian.

Tadi pagi di sekolah, Mirah sempat kaget karena mendapati Nena menghubunginya. Seingatnya dua minggu lalu saat bertemu, Nena mengatakan Josh mengajaknya jalan-jalan ke luar negeri. Praktis sejak itu Mirah jarang menghubungi Nena, apalagi dirinya pun sempat pulang kampung. Komunikasi keduanya benar-benar terputus. Maka ketika tadi pagi Nena mengajaknya bertemu, Mirah pun segera mengiyakan.

“Makin cantik aja kamu, Mir!”

Bibir Mirah mencebik. “Ini pujian apa sindiran, Teh?”

Nena tergelak. “Pujian. Ikhlas.” Senyumnya. “Kangen, Ih. Lama ya nggak ketemu kita,”

Mirah mengangguk. “Abis teteh kelamaan sih jalan-jalannya.”

Nena tersenyum tipis. “Iya nih sih Josh memperpanjang waktu liburan.” jawabnya. “Yah, dipuas-puasin lah, Mir.”

“Dipuas-puasin gimana sih Teh maksudnya?”

“Kontrak saya sama Josh abis, Mir.”

Mirah terbeliak seketika. “Jadi Teteh udah pisah sama Josh?”

Nena mengangguk cepat. “Iya. Namanya udah abis kontrak, Mir. Ya harus diakhiri. Lagian Josh harus balik lagi ke negaranya.”

Habis kontrak. Harus diakhiri. Mirah menelan ludah susah payah. Lagi-lagi ia diingatkan akan status pernikahan yang hanya sementara. Ada jangka waktu dan tidak selamanya.

“Jadi janda lagi nih saya, Mir!”

Mirah tersenyum kecut mendengar seloroh Nena. Hatinya terasa teriris. Cepat atau lambat dirinya pun akan bernasib sama.

“Teteh nggak sedih?”

Kening Nena mengerut. “Sedih?” Kedua alisnya bertaut. “Sedih sih. Josh kan baik. Royal lagi,” kekehnya yang membuat dahi Mirah berkerut.

“Ck, Mir! Nggak usah dibawa pusing kalau cerai lagi mah. Kan memang kita sudah tahu kalau pernikahan ada jangka waktunya. Jadi kalau udah abis, ya udah.”

Mirah mengangguk perlahan. Teh Nena benar. Ia memang sudah tahu konsekuensinya, pernikahan takkan bertahan lama seperti pasangan umumnya. Toh di awal ia justru ingin pernikahan segera berakhir, tapi…

“Teh,”

“Hmm,”

“Mungkin nggak kalau kita mengakhiri pernikahan kontrak lebih dulu?”

***
selanjutnya di sini

Lampung, Juli 2016




1 komentar: