Sabtu, 17 September 2016

Sayembara Askar (4)




4. Pertemuan
 sebelumnya di sini

“TANTRA!”
Tantra baru saja menyelesaikan larinya ketika mendengar namanya dipanggil. Ia pun menoleh lalu tersenyum karena menemukan Salsa tengah berjalan menghampirinya sambil melambaikan tangannya.

“Hei, Sa!” senyum Tantra merekah. Raut senang  begitu kentara di wajahnya. “Sama siapa?” tanya Tantra lagi.
“Sama ortu,” jawab Salsa dengan kepala memutar ke belakang. “Tuh lagi pada mau ikut senam!” Katanya sembari menunjuk kerumunan besar orang yang berada di tengah taman.
“Oh,” Mulut Tantra membulat. Hari minggu pagi memang dimanfaatkan sebagian besar orang untuk berolahraga atau sekedar jalan-jalan bersama keluarga.  Tempat umum seperti taman dan lapangan pun menjadi lebih ramai. Tantra sendiri terbiasa lari pagi mengitari taman yang berada tak jauh dari tempat tinggalnya.
Siapa sangka jika kemudian bertemu Salsa.
“Kok tumben ikut?”
“Lagi pengen aja, Tra. Masa nggak boleh?”
Salsa memang tak seperti Tantra, yang memang memiliki jadwal tetap tiap sabtu dan minggu pagi. Tantra ingat jika Salsa pernah mengatakan jika weekend adalah “surganya” bangun siang. Jadi, hari ini jelas Tantra senang ketika menemukan keberadaan Salsa.
“Bukan nggak boleh, Sa. Cuma kan jarang.” Sahut Tantra. “Apa kata kamu dulu, weekend itu surganya bangun siang kan,”
Salsa tergelak. Tantra nyengir.  “Ck, ingat aja kamu, Tra!”
Tentu saja!
“Udah larinya ya?”
Tantra mengangguk. “Udah. Kamu baru datang kan?”
Giliran Salsa yang mengangguk. “Iya nih! Ya udah deh aku lari dulu ya,”
“Mau ditemenin?”
Salsa mengernyit untuk beberapa saat, “Loh bukannya kamu udah?”
“Masalah kalau aku temenin?”
“Nggak sih,” Geleng Salsa lalu tersenyum. “Ya udah yuk!”
Tantra tersenyum lebar. Dalam hati bersorak girang. Sepertinya Tuhan tengah membukakan jalan  untuknya mendekati Salsa. Akhir-akhir ini banyak kesempatan yang membuat keduanya bisa bersama.  Dan tentu saja kesempatan itu tak boleh Tantra sia-siakan.
Hmm, benar seperti itu kan?
***
Sorry-sorry gue telat.”
Agni mendengus. “Kalau nggak telat ya bukan Diana namanya,” ujarnya dengan nada kesal yang tak dapat ditutupi.
Alih-alih tersinggung, Diana tertawa. Sudah hafal karakter sahabatnya yang gampang sewot. “Sorry sih, Ni. Namanya juga Jakarta. Macet.”
“Ya kalau macet, bisa keleus berangkat lebih awal.”
“Camer gue minta datang ke rumahnya dulu. Mau gimana dong, pantang ditolak permintaannya.”
Agni mencibir. “Alah, bilang aja lo juga mau sayang-sayangan ama Ken.”
“Nah itu tau!” Tawa Diana makin menggema. Wajah Agni makin bertekuk mendengarnya. Sungguh menunggu itu hal yang paling menyebalkan!
“Udah ah, kok ribut!” Suara Tika menengahi. “Malu sama umur!”
“Nah tu bener kata Tika,” sahut Diana.
Agni melengos. “Besok—besok kalian yang nunggu sampai sejam lebih ya. Coba gue pengen tahu, bete nggak?”
“Loh, emang lo datang jam berapa, Ka?” Diana menoleh pada Tika yang duduk di sampingnya.
Tika nyengir. “Gue juga telat, Di.”
“Astaga!” Diana menepuk jidat. “Pantas aja kalau sama Agni ngamuk.”
Mendengar namanya disebut, bibir Agni mengerucut. “Gue nyaris ninggalin nih tempat, kalau nggak lihat si Tika datang.”
“Ya sorry deh, Ni.” Ujar Diana bersalah. Kalau begini wajar saja kalau sampai Agni marah. Diana tahu persis, sahabatnya tak suka orang yang tak tepat waktu. Tadi ia berpikir, sedikit terlambat datang tak masalah karena ada Tika sahabat mereka yang lain. Siapa sangka jika Tika justru sama telatnya.
“Iya, Ni. Gue juga minta maaf lah.” Tika menimpali.
“Kok lo telat juga nggak ngasih tahu gue, Ka. Tau gitu bisa diundur kan pertemuan kita.”
“Lowbat hp guenya. Ketinggalan pb pula.”
“Udah ah,” Sela Agni. “Lupain aja! Toh kalian udah pada datang juga.” katanya lagi seraya berdiri beranjak dari kursi.
“Loh, Ni mau kemana? Kan kita belum bahas rencana pernikahan gue,” tanya Diana cepat.
“Mau ke toilet gue,” jawab Agni.
“Oh, kirain!”
Agni memutar kedua bola matanya. “Sebete-betenya gue, nggak akan ingkar janji kali.” Ujarnya sebelum meninggalkan kedua sahabatnya. Beberapa langkah mendekat ke toilet, Agni merasa tubuhnya ditabrak seseorang.
“Duh, maaf, Mbak!
Agni sedikit oleng, namun ia tak sampai terjatuh. Sedetik kemudian ia memutar kepalanya dan berhadapan dengan seorang laki-laki muda dengan penampilan khas pekerja. Dari raut wajahnya terlihat rasa bersalah. Agni yang berniat marah, akhirnya pun urung.
“Maaf-maaf ya, Mbak. Saya yang salah. Saya buru-buru jadi nggak lihat Mbaknya.” Katanya lagi dengan kepala menunduk berkali-kali.
Mata Agni menyipit. Tampak jelas pemuda itu tengah memegang ponsel yang diletakkan di telinga kirinya. Sibuk bicara hingga tak fokus, huh!
“Ya udahlah, Mas.” Ujar Agni. “Next time tolong perhatikan jalan walaupun asyik menelepon.”
“Jangan sibuk sendiri!” sambungnya judes sambil ngeloyor masuk ke dalam toilet.
Huh, hari ini mengapa semua terasa menjengkelkan?
***

“Gimana?”
“Apanya?”
“Mas, please deh! Lo tahu apa yang gue maksud.”
Bahu Azka terangkat. “Dan lo juga tahu apa yang lo minta sesuatu yang mustahil bisa gue lakuin.”
Askar menggeram. Sia-sia sudah ia mendatangi Aksa jika laki-laki itu tak bisa membantunya. Secara tersirat, Aksa mengatakan jika rencana akan tetap dijalankan.
Argh, Papa!
“Mas nggak bisa tah ngomong ke Papa?”
“Lah yang anaknya siapa?”
“Mas!” Wajah Askar bertekuk. Sepupunya ini benar-benar menyebalkan. Sudah tak membantu, masih sempat mengolok.
“Ada ide nggak?”
“Ide batalin rencana Om?”
“Iyalah,” Askar mendengus gusar. Berbicara dengan Aksa memang menguras emosi. Karakternya yang serius jelas berbanding terbalik dengan karakter Aksa yang humoris.
“Kan udah gue bilang, mustahil buat gue ngebatalin rencana bokap lo, Askar. Lo tahu bokap lo gimana,”
Askar berdecak sebal. Tamat sudah riwayatnya. Tak ada celah untuk membatalkan rencana gila itu.
“Lagian lo juga sih nggak kawin-kawin? Kerjaan bikin skandal melulu.” Tukas Aksa. “Nggak bosen lo?”
“Masa muda, Mas, harus dinikmati.”
Aksa mencibir. “Jago aja kalau disuruh ngeles lo!”
Askar nyengir.
“Ya udah kalau gitu, lo nikmati aja ini rencana. Konyol memang tapi setidaknya lo bakalan adem lihat deretan cewek-cewek cantik berebut jadi calon bini lo.” lanjut Aksa yang beroleh umpatan Askar.
“Tanpa harus ada sayembara konyol, gue bisa kali cari cewek cantik.”
“Nah itu! Ambil satu untuk lo jadiin bini nggak ada salahnya dong.”
“Ck, nyari istri lo kira nyari baju di pasar.”Askar menggerutu. “Udah, mending lo pake isi otak lo untuk nyari cara biar Papa nggak maksain sayembara diadain, Mas.”
Sesaat hening sebelum kemudian Aksa kembali berbicara.
“Lo beneran udah ngomong ke Om?”
“Udahlah.”
“Hasilnya nihil?”
Askar mengangguk. “Lo yang anaknya aja nggak didengerin, apa kabar gue. Udahlah, Kar nikmati aja. Lagian ya acara-acara begini biasanya rating tinggi. Banyak sponsor.”
Askar mendengus. “Tapi harga diri gue, Mas.” Keluhnya.
Sedetik kemudian terdengar tawa cukup kencang. Askar manyun. “Ini namanya tawa diatas penderitaan orang lain,” sindirnya kemudian.
Alih-alih tersinggung karena ucapan Askar, tawa Aksa justru makin keras. Kepalanya menggeleng geli. “Oh ya gue lupa, ini acara mau pakai sistem vote atau sms terbanyak gitu nggak? Lumayan lo pendapatannya.”
Askar melotot. Ia menghembuskan napas kasar.  “Mas, lo bisa nggak sih serius dikit. Simpatik kek sama nasib gue,”
“Oke, oke!” Kepala Aksa manggut-manggut. Sejujurnya sejak awal Aksa tak begitu menerima rencana konyol pamannya. Askar benar. Ini masalah harga diri. Seburuk apapun perilaku sepupunya, tetap saja rasanya tak masuk akal. Tapi entahlah, pamannya mungkin  memiliki maksud tersendiri dibalik rencana yang digagas.
“Mau gue kasih saran?”
Alis kiri Askar terangkat naik. Penasaran sekaligus was-was. “Apa?”
“Masalahnya kan urusan lo belum kawin kan ya?”
Askar mengangguk lemah. Dahinya mengerut. Menanti ucapan selanjutnya yang keluar dari bibir Aksa.
“Kalau gitu lo cari cewek yang pas yang bisa lo jadiin calon istri,”
“Ya nggak semudah itu, Mas.” Sanggah Askar. “Dan pasti butuh wakt…,”
“Gue bilang calon istri, Askar!” potong Aksa. “Bukan istri.”
Askar terhenyak. Ia menatap Aksa lekat-lekat sebelum kemudian senyumnya mengembang.
Well, lo ngerti kan maksud gue,”
***
Tantra misah-misuh sepanjang perjalanan karena telepon mendadak dari Askar. Padahal tadi pagi Askar mengatakan jika hari ini tak ingin diganggu. Tantra pun bisa bernafas lega karena itu berarti hari ini ia bisa bekerja dengan tenang.Tak harus menghadapi emosi Askar yang akhir-akhir ini cukup labil. Bahkan Tantra dapat menikmati makan siang di salah satu café favorit bersama beberapa rekan kerjanya.
Yah seharusnya seperti itu. Namun sayang, makan siang belum usai Askar sudah menghubungi dan meminta Tantra menemuinya sekarang. Mau tak mau Tantra pun terburu-buru meninggalkan café.
Ck, orang itu…
Semoga aku segera diberi kelebihan uang untuk memulai usaha sendiri, bisiknya dalam hati. Tak selamanya kan ia harus menjadi bawahan.
Dering ponsel menarik kesadaran Tantra, tepat di saat ia menghentikan kendaraan di parkiran sebuah gedung bertingkat. Melirik caller ID, Tantra mendesah panjang.
Bos calling…
“Iya, Ma…,”
“Udah dimana lo?” Belum sempat Tantra menjawab, suara Askar di seberang bertanya.
“Di parkiran, Mas.”
“Bagus. Langsung naik ke atas. Ruang CEO. Mas Aksa.”
“Iya, Mas.”
“Ok. Gue tunggu.”
Klik. Sambungan terputus. Tantra menarik napas untuk beberapa saat sebelum kemudian membuka pintu mobil lalu keluar.
Dua tahun bekerja bersama Askar, Tantra memang cukup mengenal sosok Aksa. CEO sebuah stasiun TV Swasta terkenal sekaligus sepupu terdekat Askar. Sudah beberapa kali mereka bertemu, tapi tak pernah di tempat kerja Aksa. Ini kedua kalinya Tantra kemari.  Setahun silam, ia memang pernah kemari. Namun saat itu terkait pekerjaan. Berbeda kali ini. Tantra bisa menebak jika Askar menemui Aksa karena berhubungan dengan sayembara tersebut.
“Ada yang bisa dibantu, Pak?” tanya resepsionis ketika Tantra menghampirinya. Tantra memang sedikit lupa letak ruangan Aksa. Selain itu ia pun membutuhkan ID untuk melewati pintu masuk.
“Saya diminta menemui Pak Aksa.”
“Sudah ada janji?”
Tantra mengangguk. Sang resepsionis pun tersenyum lalu meminta waktu sebentar untuk memastikan. Sesaat setelah mendapat kepastian, Tantra pun diberi petunjuk letak ruangan sang pimpinan.
“Jadi lantai 10 ya?”
Resepsionis mengangguk. “Iya. Di sana nanti ada sekertaris beliau. Bapak bisa memberitahunya.”
“Terima kasih.”
“Sama-sama, Pak.”
Tantra pun bergegas masuk. Lift cukup kosong. Mungkin karena waktu masih menunjukkan jam istirahat. Ia baru saja hendak menekan tombol ketika melihat seorang wanita setengah berlari mendekati lift. Paham jika wanita itu bermaksud menaiki lift, Tantra pun menunggu.
“Makasi…,”
Tantra terkejut. Wanita itu pun sama kagetnya ketika menatap Tantra. Mulutnya terbuka untuk beberapa saat sebelum kemudian berucap, “Kamu yang tadi nabrak saya kan?”
Sedetik kemudian Tantra meringis dan mengangguk. “Maaf—maaf ya, Mbak  soal yang tadi.”
Agni, wanita itu memicingkan mata. Tak lama ia mendengus. “Sudahlah lupakan!”
Tantra mengangguk. Sungguh ia tak nyaman. Karena panggilan Askar, ia pun terburu-buru meninggalkan café hingga tanpa sadar menabrak tubuh wanita. Meskipun tidak sampai jatuh, tapi wanita itu pasti merasakan sakit.
Dan wanita itu kini berada di lift yang sama dengannya.
“Maaf, Mbak. Mbaknya ada masalah? Ada luka?”
Agni mendongak lalu menggeleng. “Nggak. Cuma emang tadi lumayan keras,” katanya seraya menggerakkan bahu kanannya.
“Maaf ya, Mbak. Apa perlu saya antar ke rumah sakit. Takut terjad…,”
“LEBAY!” Potong Agni. “Saya nggak papa juga.”
Tantra bungkam seketika. Wanita itu mungkin terlihat baik-baik saja, tapi jelas ia masih memendam kekesalan pada dirinya. Jadi diam mungkin menjadi pilihan terbaik.
Selang beberapa menit kemudian lift berhenti di lantai 10. Sesaat kening Tantra mengerut. Ternyata keduanya memiliki tujuan yang sama. Tantra sebenarnya ingin berbasa-basi bertanya, tapi melihat raut acuh serta angkuh diurungkan niatnya. Ia memilih berlalu lebih dahulu.
Baru saja ia melangkah keluar lift, sebuah suara keras sudah menyambutnya.
“Ya Tuhan, Tantra lo lama ba…. AGNI!”
***
Lampung, September 2016
selanjutnya di sini

2 komentar: