4. Pertemuan
sebelumnya di sini
“TANTRA!”
Tantra baru saja menyelesaikan
larinya ketika mendengar namanya dipanggil. Ia pun menoleh lalu tersenyum
karena menemukan Salsa tengah berjalan menghampirinya sambil melambaikan
tangannya.
“Hei, Sa!” senyum Tantra merekah. Raut senang begitu kentara di wajahnya. “Sama siapa?” tanya Tantra lagi.
“Sama ortu,” jawab Salsa dengan
kepala memutar ke belakang. “Tuh lagi pada mau ikut senam!” Katanya sembari
menunjuk kerumunan besar orang yang berada di tengah taman.
“Oh,” Mulut Tantra membulat. Hari
minggu pagi memang dimanfaatkan sebagian besar orang untuk berolahraga atau
sekedar jalan-jalan bersama keluarga.
Tempat umum seperti taman dan lapangan pun menjadi lebih ramai. Tantra
sendiri terbiasa lari pagi mengitari taman yang berada tak jauh dari tempat
tinggalnya.
Siapa sangka jika kemudian bertemu
Salsa.
“Kok tumben ikut?”
“Lagi pengen aja, Tra. Masa nggak
boleh?”
Salsa memang tak seperti Tantra, yang
memang memiliki jadwal tetap tiap sabtu dan minggu pagi. Tantra ingat jika
Salsa pernah mengatakan jika weekend
adalah “surganya” bangun siang. Jadi, hari ini jelas Tantra senang ketika
menemukan keberadaan Salsa.
“Bukan nggak boleh, Sa. Cuma kan
jarang.” Sahut Tantra. “Apa kata kamu dulu, weekend itu surganya bangun siang
kan,”
Salsa tergelak. Tantra nyengir. “Ck, ingat aja kamu, Tra!”
Tentu saja!
“Udah larinya ya?”
Tantra mengangguk. “Udah. Kamu baru
datang kan?”
Giliran Salsa yang mengangguk. “Iya
nih! Ya udah deh aku lari dulu ya,”
“Mau ditemenin?”
Salsa mengernyit untuk beberapa saat,
“Loh bukannya kamu udah?”
“Masalah kalau aku temenin?”
“Nggak sih,” Geleng Salsa lalu
tersenyum. “Ya udah yuk!”
Tantra tersenyum lebar. Dalam hati
bersorak girang. Sepertinya Tuhan tengah membukakan jalan untuknya mendekati Salsa. Akhir-akhir ini banyak
kesempatan yang membuat keduanya bisa bersama. Dan tentu saja kesempatan itu tak boleh Tantra
sia-siakan.
Hmm, benar seperti itu kan?
***
“Sorry-sorry
gue telat.”
Agni mendengus. “Kalau nggak telat ya
bukan Diana namanya,” ujarnya dengan nada kesal yang tak dapat ditutupi.
Alih-alih tersinggung, Diana tertawa.
Sudah hafal karakter sahabatnya yang gampang sewot. “Sorry sih, Ni. Namanya juga Jakarta. Macet.”
“Ya kalau macet, bisa keleus berangkat lebih awal.”
“Camer gue minta datang ke rumahnya
dulu. Mau gimana dong, pantang ditolak permintaannya.”
Agni mencibir. “Alah, bilang aja lo
juga mau sayang-sayangan ama Ken.”
“Nah itu tau!” Tawa Diana makin
menggema. Wajah Agni makin bertekuk mendengarnya. Sungguh menunggu itu hal yang
paling menyebalkan!
“Udah ah, kok ribut!” Suara Tika
menengahi. “Malu sama umur!”
“Nah tu bener kata Tika,” sahut
Diana.
Agni melengos. “Besok—besok kalian
yang nunggu sampai sejam lebih ya. Coba gue pengen tahu, bete nggak?”
“Loh, emang lo datang jam berapa,
Ka?” Diana menoleh pada Tika yang duduk di sampingnya.
Tika nyengir. “Gue juga telat, Di.”
“Astaga!” Diana menepuk jidat.
“Pantas aja kalau sama Agni ngamuk.”
Mendengar namanya disebut, bibir Agni
mengerucut. “Gue nyaris ninggalin nih tempat, kalau nggak lihat si Tika datang.”
“Ya sorry deh, Ni.” Ujar Diana bersalah. Kalau begini wajar saja kalau
sampai Agni marah. Diana tahu persis, sahabatnya tak suka orang yang tak tepat
waktu. Tadi ia berpikir, sedikit terlambat datang tak masalah karena ada Tika
sahabat mereka yang lain. Siapa sangka jika Tika justru sama telatnya.
“Iya, Ni. Gue juga minta maaf lah.”
Tika menimpali.
“Kok lo telat juga nggak ngasih tahu
gue, Ka. Tau gitu bisa diundur kan pertemuan kita.”
“Lowbat hp guenya. Ketinggalan pb
pula.”
“Udah ah,” Sela Agni. “Lupain aja!
Toh kalian udah pada datang juga.” katanya lagi seraya berdiri beranjak dari
kursi.
“Loh, Ni mau kemana? Kan kita belum
bahas rencana pernikahan gue,” tanya Diana cepat.
“Mau ke toilet gue,” jawab Agni.
“Oh, kirain!”
Agni memutar kedua bola matanya. “Sebete-betenya
gue, nggak akan ingkar janji kali.” Ujarnya sebelum meninggalkan kedua
sahabatnya. Beberapa langkah mendekat ke toilet, Agni merasa tubuhnya ditabrak
seseorang.
“Duh, maaf, Mbak!
Agni sedikit oleng, namun ia tak
sampai terjatuh. Sedetik kemudian ia memutar kepalanya dan berhadapan dengan
seorang laki-laki muda dengan penampilan khas pekerja. Dari raut wajahnya
terlihat rasa bersalah. Agni yang berniat marah, akhirnya pun urung.
“Maaf-maaf ya, Mbak. Saya yang salah.
Saya buru-buru jadi nggak lihat Mbaknya.” Katanya lagi dengan kepala menunduk
berkali-kali.
Mata Agni menyipit. Tampak jelas
pemuda itu tengah memegang ponsel yang diletakkan di telinga kirinya. Sibuk bicara hingga tak fokus, huh!
“Ya udahlah, Mas.” Ujar Agni. “Next time tolong perhatikan jalan
walaupun asyik menelepon.”
“Jangan sibuk sendiri!” sambungnya
judes sambil ngeloyor masuk ke dalam toilet.
Huh, hari ini mengapa semua terasa menjengkelkan?
***
“Gimana?”
“Apanya?”
“Mas, please deh! Lo tahu apa yang
gue maksud.”
Bahu Azka terangkat. “Dan lo juga
tahu apa yang lo minta sesuatu yang mustahil bisa gue lakuin.”
Askar menggeram. Sia-sia sudah ia
mendatangi Aksa jika laki-laki itu tak bisa membantunya. Secara tersirat, Aksa
mengatakan jika rencana akan tetap dijalankan.
Argh, Papa!
“Mas nggak bisa tah ngomong ke Papa?”
“Lah yang anaknya siapa?”
“Mas!” Wajah Askar bertekuk.
Sepupunya ini benar-benar menyebalkan. Sudah tak membantu, masih sempat
mengolok.
“Ada ide nggak?”
“Ide batalin rencana Om?”
“Iyalah,” Askar mendengus gusar.
Berbicara dengan Aksa memang menguras emosi. Karakternya yang serius jelas
berbanding terbalik dengan karakter Aksa yang humoris.
“Kan udah gue bilang, mustahil buat
gue ngebatalin rencana bokap lo, Askar. Lo tahu bokap lo gimana,”
Askar berdecak sebal. Tamat sudah
riwayatnya. Tak ada celah untuk membatalkan rencana gila itu.
“Lagian lo juga sih nggak
kawin-kawin? Kerjaan bikin skandal melulu.” Tukas Aksa. “Nggak bosen lo?”
“Masa muda, Mas, harus dinikmati.”
Aksa mencibir. “Jago aja kalau
disuruh ngeles lo!”
Askar nyengir.
“Ya udah kalau gitu, lo nikmati aja
ini rencana. Konyol memang tapi setidaknya lo bakalan adem lihat deretan
cewek-cewek cantik berebut jadi calon bini lo.” lanjut Aksa yang beroleh
umpatan Askar.
“Tanpa harus ada sayembara konyol,
gue bisa kali cari cewek cantik.”
“Nah itu! Ambil satu untuk lo jadiin
bini nggak ada salahnya dong.”
“Ck, nyari istri lo kira nyari baju
di pasar.”Askar menggerutu. “Udah, mending lo pake isi otak lo untuk nyari cara
biar Papa nggak maksain sayembara diadain, Mas.”
Sesaat hening sebelum kemudian Aksa
kembali berbicara.
“Lo beneran udah ngomong ke Om?”
“Udahlah.”
“Hasilnya nihil?”
Askar mengangguk. “Lo yang anaknya
aja nggak didengerin, apa kabar gue. Udahlah, Kar nikmati aja. Lagian ya
acara-acara begini biasanya rating tinggi. Banyak sponsor.”
Askar mendengus. “Tapi harga diri
gue, Mas.” Keluhnya.
Sedetik kemudian terdengar tawa cukup
kencang. Askar manyun. “Ini namanya tawa diatas penderitaan orang lain,”
sindirnya kemudian.
Alih-alih tersinggung karena ucapan
Askar, tawa Aksa justru makin keras. Kepalanya menggeleng geli. “Oh ya gue
lupa, ini acara mau pakai sistem vote atau sms terbanyak gitu nggak? Lumayan lo
pendapatannya.”
Askar melotot. Ia menghembuskan napas
kasar. “Mas, lo bisa nggak sih serius
dikit. Simpatik kek sama nasib gue,”
“Oke, oke!” Kepala Aksa
manggut-manggut. Sejujurnya sejak awal Aksa tak begitu menerima rencana konyol
pamannya. Askar benar. Ini masalah harga diri. Seburuk apapun perilaku
sepupunya, tetap saja rasanya tak masuk akal. Tapi entahlah, pamannya
mungkin memiliki maksud tersendiri
dibalik rencana yang digagas.
“Mau gue kasih saran?”
Alis kiri Askar terangkat naik.
Penasaran sekaligus was-was. “Apa?”
“Masalahnya kan urusan lo belum kawin
kan ya?”
Askar mengangguk lemah. Dahinya
mengerut. Menanti ucapan selanjutnya yang keluar dari bibir Aksa.
“Kalau gitu lo cari cewek yang pas
yang bisa lo jadiin calon istri,”
“Ya nggak semudah itu, Mas.” Sanggah
Askar. “Dan pasti butuh wakt…,”
“Gue bilang calon istri, Askar!”
potong Aksa. “Bukan istri.”
Askar terhenyak. Ia menatap Aksa
lekat-lekat sebelum kemudian senyumnya mengembang.
“Well,
lo ngerti kan maksud gue,”
***
Tantra misah-misuh sepanjang
perjalanan karena telepon mendadak dari Askar. Padahal tadi pagi Askar
mengatakan jika hari ini tak ingin diganggu. Tantra pun bisa bernafas lega
karena itu berarti hari ini ia bisa bekerja dengan tenang.Tak harus menghadapi
emosi Askar yang akhir-akhir ini cukup labil. Bahkan Tantra dapat menikmati
makan siang di salah satu café favorit bersama beberapa rekan kerjanya.
Yah seharusnya seperti itu. Namun sayang,
makan siang belum usai Askar sudah menghubungi dan meminta Tantra menemuinya
sekarang. Mau tak mau Tantra pun terburu-buru meninggalkan café.
Ck, orang itu…
Semoga aku segera diberi kelebihan
uang untuk memulai usaha sendiri, bisiknya dalam hati. Tak selamanya kan ia
harus menjadi bawahan.
Dering ponsel menarik kesadaran
Tantra, tepat di saat ia menghentikan kendaraan di parkiran sebuah gedung
bertingkat. Melirik caller ID, Tantra
mendesah panjang.
Bos calling…
“Iya, Ma…,”
“Udah dimana lo?” Belum sempat Tantra
menjawab, suara Askar di seberang bertanya.
“Di parkiran, Mas.”
“Bagus. Langsung naik ke atas. Ruang
CEO. Mas Aksa.”
“Iya, Mas.”
“Ok. Gue tunggu.”
Klik. Sambungan terputus. Tantra
menarik napas untuk beberapa saat sebelum kemudian membuka pintu mobil lalu
keluar.
Dua tahun bekerja bersama Askar, Tantra
memang cukup mengenal sosok Aksa. CEO sebuah stasiun TV Swasta terkenal
sekaligus sepupu terdekat Askar. Sudah beberapa kali mereka bertemu, tapi tak
pernah di tempat kerja Aksa. Ini kedua kalinya Tantra kemari. Setahun silam, ia memang pernah kemari. Namun
saat itu terkait pekerjaan. Berbeda kali ini. Tantra bisa menebak jika Askar
menemui Aksa karena berhubungan dengan sayembara tersebut.
“Ada yang bisa dibantu, Pak?” tanya
resepsionis ketika Tantra menghampirinya. Tantra memang sedikit lupa letak
ruangan Aksa. Selain itu ia pun membutuhkan ID untuk melewati pintu masuk.
“Saya diminta menemui Pak Aksa.”
“Sudah ada janji?”
Tantra mengangguk. Sang resepsionis
pun tersenyum lalu meminta waktu sebentar untuk memastikan. Sesaat setelah
mendapat kepastian, Tantra pun diberi petunjuk letak ruangan sang pimpinan.
“Jadi lantai 10 ya?”
Resepsionis mengangguk. “Iya. Di sana
nanti ada sekertaris beliau. Bapak bisa memberitahunya.”
“Terima kasih.”
“Sama-sama, Pak.”
Tantra pun bergegas masuk. Lift cukup
kosong. Mungkin karena waktu masih menunjukkan jam istirahat. Ia baru saja
hendak menekan tombol ketika melihat seorang wanita setengah berlari mendekati
lift. Paham jika wanita itu bermaksud menaiki lift, Tantra pun menunggu.
“Makasi…,”
Tantra terkejut. Wanita itu pun sama
kagetnya ketika menatap Tantra. Mulutnya terbuka untuk beberapa saat sebelum
kemudian berucap, “Kamu yang tadi nabrak saya kan?”
Sedetik kemudian Tantra meringis dan
mengangguk. “Maaf—maaf ya, Mbak soal
yang tadi.”
Agni, wanita itu memicingkan mata.
Tak lama ia mendengus. “Sudahlah lupakan!”
Tantra mengangguk. Sungguh ia tak
nyaman. Karena panggilan Askar, ia pun terburu-buru meninggalkan café hingga
tanpa sadar menabrak tubuh wanita. Meskipun tidak sampai jatuh, tapi wanita itu
pasti merasakan sakit.
Dan wanita itu kini berada di lift
yang sama dengannya.
“Maaf, Mbak. Mbaknya ada masalah? Ada
luka?”
Agni mendongak lalu menggeleng.
“Nggak. Cuma emang tadi lumayan keras,” katanya seraya menggerakkan bahu
kanannya.
“Maaf ya, Mbak. Apa perlu saya antar
ke rumah sakit. Takut terjad…,”
“LEBAY!” Potong Agni. “Saya nggak
papa juga.”
Tantra bungkam seketika. Wanita itu
mungkin terlihat baik-baik saja, tapi jelas ia masih memendam kekesalan pada
dirinya. Jadi diam mungkin menjadi pilihan terbaik.
Selang beberapa menit kemudian lift
berhenti di lantai 10. Sesaat kening Tantra mengerut. Ternyata keduanya
memiliki tujuan yang sama. Tantra sebenarnya ingin berbasa-basi bertanya, tapi
melihat raut acuh serta angkuh diurungkan niatnya. Ia memilih berlalu lebih
dahulu.
Baru saja ia melangkah keluar lift,
sebuah suara keras sudah menyambutnya.
“Ya Tuhan, Tantra lo lama ba…. AGNI!”
***
Lampung, September 2016
selanjutnya di sini
good post mbak
BalasHapussip Pak.
Hapus