6. Yang Dulu Itu
sebelumnya di sini
“Rumahnya di mana, Mbak?”
Eh,
Agni meringis. Sial! Kenapa ia jadi
memikirkan ucapan wanita itu. Terserah apapun hubungannya dengan Askar, siapa
peduli?
Tantra menggeleng. “ Nggak, Mbak.
Searah kok kita.”
“Bener dulu?”
“Iya.” Angguk Tantra. Mereka sudah
berada di parkiran sekarang. Tak lama Tantra pun masuk ke dalam mobil, disusul
Agni kemudian.
“Mbak, sorry! Boleh hidupin radio?”
Agni mengernyit untuk beberapa saat
sebelum ia menggelengkan kepalanya. “Lo aneh! Mobil juga mobil lo, kenapa izin
sama gue. Ya terserah lo lah,”
“Oh,” Tantra mengangguk gugup. Serius
ini cewek kenapa jutek banget ya!
“Ya, tapi kan saya takut Mbaknya
terganggu.”
“Segitunya. Nggak lah! Santai aja
kali!”
Tantra tersenyum tipis. “Makasih,
Mbak.” ujarnya dengan tangan terulur ke depan dashboard. Tak lama suara salah satu penyanyi kenamaan tanah air
terdengar mengalun lembut di dalam mobil. Tantra pun tersenyum sebelum kemudian
melajukan mobilnya meninggalkan gedung stasiun TV milik Aksa.
“Lo suka Isyana?” tanya Agni
penasaran. Ia heran Tantra hanya menekan tombol power, tak berniat sama sekali mengganti saluran.
“Cewek cantik, siapa yang nggak suka
sih Mbak,” jawab Tantra mencoba berseloroh mencairkan suasana.
Agni mencibir. “Dasar cowok, gue
tanya apa dijawab apa.”
Eh?
“Bercanda, Mbak!” ujar Tantra. “Lagian
ya, Mbaknya juga nanya ambigu. Coba kalau nanya suka sama suara Isyana ya saya
jawabnya nggak kayak gitu juga.”
Kedua alis Agni bertaut. “Lo ini
bawel yak?”
“Eh?” Tantra terkesiap. Ia menoleh
Agni sekilas sebelum kemudian minta maaf. Berniat mengakrabkan diri yang ada
dijutekin. Nasib!
“Maaf, Mbak. Maaf banget kalau sikap
aku bikin Mbak nggak nyaman. “
Kepala Agni menggeleng. “Minta maaf
mulu lo, lebaran masih jauh.”
“Santai aja lah,” sambung Agni lagi.
“Gue cuma kaget lo bisa bercanda.”
“Maksudnya?”
“Gue pikir lo kaku. Macam robot
berjalan. Malah dari tadi ngomong lo formal banget. Padahal berani bertaruh,
usia kita paling nggak beda jauh.”
“Eh, iya-iya…,” Tantra
menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Oh ya satu lagi. Gue belum tahu nama
lo loh ya,”
“Tantra.” Jawab Tantra. “Nama saya
Tantra Sagata, Mbak.”
“Ck, lo nggak paham omongan gue ya,”
“Hah?”
Agni berdecak. “Umur lo berapa sih?”
“Sa—saya dua tujuh, Mbak.”
“Nah kan! Ternyata kita seumur. Jadi
mending panggil gue Agni. Nggak usah pake embel-embel, Mbak.” Agni
bersungut-sungut. “Lagian gue juga nggak pernah married sama kakak lo, kok.”
“I—iya, iya, Mbak.”
“Kok Mbak lagi?”
Tantra nyengir. “Kebiasaan.”
“Kebiasaan?” kernyit Agni.
Tantra mengangguk. “Saya kan panggil
Mas Askar pakai embel-embel Mas. Jadi berlaku juga sama teman-temannya Mas
Askar.”
Seketika wajah Agni merengut. “Jangan
samain gue sama cewek-ceweknya Askar!”
Eh?
Tantra kaget. Padahal bukan itu
maksud ucapannya. Salah lagi!
“Bukan-bukan gitu, Mb… eh Agni!” Cepat-cepat
Tantra meralat panggilan ketika mendapati mata Agni melotot ke arahnya. Auranya
menyeramkan.
“Nah gitu lebih baik. Agni, nggak
pake Mbak!”
“I—iya, Agni.” Senyum Tantra kikuk.
Entah apa yang terjadi sebenarnya antara bosnya dengan gadis ini. Terlihat
sekali Agni cemberut tadi. Apa dia salah satu mantan Askar? Korban? Perempuan
yang tersakiti kah?
Ah, entahlah! bukan urusanku.
Tapi ngomong-ngomong bodoh sekali,
Mas Askar jika menyakiti wanita seperti Agni, bisik Tantra dalam hati.
Cantik dan pintar!
Hanya sepintas saja dirinya sudah
tahu jika Agni wanita berbeda dari wanita-wanita di sekitar Askar. Ah,
bodoh kamu, boss!
“Kamu pembaca berita yang pagi-pagi
itu kan?”
Agni mengangguk. “Lo tahu gue?”
Giliran Tantra yang mengangguk. “Ya
meski nggak sering, tapi sesekali aku lihat berita pagi kok.”
“Emang sibuk banget ya?”
“Lumayan,” Tukas Tantra singkat.
“Bos lo orang sibuk sih,” cibir Agni.
Tantra tersenyum geli. “Itu tau!”
“Tau lah,” sahut Agni. “Dulu kantor
gue yang lama pernah ada kerjasama sama dia. Duh, jadwalnya padet. Mau ketemu
bikin janji jauh-jauh hari.”
“Maklumin aja! Pengusaha sukses.
Konglomerat.” Kekeh Tantra.
Agni tergelak. “Ya ya ya, lo bener.
Pengusaha sukses itu banyak acara ya!” ucap Agni. “Tapi kan lo juga kecipratan
duit banyak dong,”
Bahu Tantra mengedik. Tawa mengalir
dari bibirnya membuat Agni tak urung ikut tersenyum dalam hati. Sepertinya dia orangnya
asik.
Nggak kayak bosnya, huh!
“Udah lama?”
“Apanya?”
“Kerja sama Askar?”
Tantra manggut-manggut sebelum
menjawab pertanyaan yang diajukan Agni. “Ada dua tahun lebih.”
“Oh pantas aja.”
“Pantas apanya?”
“Dulu seingat gue asistennya cewek.”
Tantra tak menyahut. Hanya kepalanya
saja yang manggut-manggut.
“Lo bukan orang Jakarta ya?”
Tantra menggeleng. “Kenapa? Kelihatan
ya?”
“Banget.”
Tantra tersenyum tipis sebelum
kemudian mendengar ponselnya berdering. Sesaat diraihnya benda berbentuk segi
empat tersebut.
“Ya, hal…,”
“…,”
“Di jalan, Mas!”
“…,”
“Iya. Aku ke kantor lagi.”
“…,”
“Iya—iya.”
“…,”
“Iya, Mas. Nanti aku kirim sege…,”
Klik.
Sambungan terputus.
Tantra mendesah panjang. Kebiasaan
Askar memutus sambungan sebelum ia menyelesaikan kalimatnya. Semena-mena, huh!
“Bos lo ya?”
Tantra menoleh sekilas dan
mengangguk. Bibir Agni mencebik. Playboy
cap curut itu…
“Betah kerja sama dia?”
Bahu Tantra mengedik. Ia tak
menjawab. Agni tersenyum miring melihatnya. Tak perlu dijawab, Agni sudah tahu
jawabannya.
Askar kan memang orang yang menyebalkan!
***
“NO!”
Askar mendelik. “Yah, kok gi…,”
“Papa udah kasih banyak toleransi
waktu sama kamu, Askar. Buktinya apa? Nol besar kan! Kamu selalu mangkir.”
Mata Askar terpejam sejenak. Ternyata
tak semudah yang dia pikirkan,
“Tapi, Pa kali ini serius.”
Bram terdiam seraya menatap
lekat-lekat putra semata wayangnya. Sedetik kemudian ia menggeleng.
“Papa curiga kamu merencanakan
sesuatu,”
Ups…
“Rencana apa sih maksud, Papa?” Askar
mencoba bersikap tenang, meskipun hatinya kebat-kebit tak keruan. Papa
benar-benar mengerti dirinya.
“Bisa saja kan kamu menyewa gadis
untuk pura-pura menjadi kekasih kamu.”
Shit!
Papa dengan mudah mengetahuinya.
“Aku nggak ngerti maksud Papa,” kilah
Askar. Berhadapan dengan ayahnya memang tak mudah, tapi bukan berarti ia
menyerah. Bersikap tenang, satu-satunya
cara agar Papa tak mencurigainya terlalu dalam.
“Kamu anak Papa! Papa yang
membesarkan kamu. Jadi Papa tahu betul karakter kamu, Askar Adinata!”
Habis sudah!
Tamat! Tak ada kesempatan mengelak!
“Sayembara tetap akan diadakan. Titik!”
Sambung Bram yang membuat mata Askar membulat tak percaya.
“Pa!” protesnya segera. “Ngapain ada
sayembara kalau aku bisa bawa gadis yang kucintai kemari.”
Bram mengedik. “Kalau memang gadis
itu ada, bawa saja!”
“Lalu sayembaranya?” mendadak Askar
bodoh. Ia masih bingung jalan pikiran Ayahnya.
Bram bangkit dari kursinya sembari
menyunggingkan senyum miring. “Kan Papa bilang kalau ada.” Ujarnya seraya
melengang pergi meninggalkan Askar.
Askar mengerjap seketika. Tak lama ia
menghela napas panjang.
Argh, susah! Papa nggak percaya!
“Makanya kalau janji ditepati,”
Askar menoleh. Gayatri mencibir.
“Mama ini loh, bukannya nolong anaknya.”
“Nolong apaan? Kan kamu sendiri yang
bikin kacau,” jawab Gayatri. “Coba dari dulu nggak kabur-kaburan kalau
dijodohin,”
“Ma, berapa kali sih aku harus bilang
aku belum mau married.” Desah Askar
fustasi. Berharap Ibunya dapat membantu, nyatanya sama saja.
Bener-bener kebelet punya cucu ya
mereka ini, gerutu Askar dalam hati.
“Kalau kamu bener sih iya aja Mama
Papa nggak akan ribut. Lah tingkah kamu makin nggak beres. Dosa, Askar! Dosa!”
jelas Gayatri. “Nah dari pada bikin dosa mending dinikahin lah,”
“Mama ngomong apa sih?”
“Kamu kira kami nggak tahu kelakuan
nggak beres kamu sama cewek di luar?”
Askar terdiam tak menjawab. “Bangga
kamu dibilang player?” tanya Gayatri
lagi.
“Ck, berasa ganteng amat kamu!”
“Loh kan emang ganteng.”
Gayatri melotot. Tak lama ia bangkit.
“Ngeles aja jago! Udah ah, mending Mama pacaran sama Papa. Daripada ngomong
sama kamu, ngeles aja bisanya.” Katanya seraya ngeloyor pergi meninggalkan
Askar yang terbengong di tempatnya.
Sial! Tak ada yang mempercayai dirinya sekarang…
***
Tantra mengernyit saat mobilnya
memasuki komplek pemukiman yang tergolong elite di Jakarta. Ia menoleh sejenak
sebelum kemudian kepalanya manggut-manggut.
Anak orang kaya…
“Kenapa?”
Tantra tersenyum kecut. Ia baru saja
hendak menjawab, namun Agni sudah memotongnya. “Biasa aja. Ini kawasan rumah
orang tua gue. Yang kaya orang tua gue, bukan gue.”
Eh?
“Gue bener kan?” Agni menoleh dan
menatap Tantra yang tampak kikuk di balik kemudi.
“Gue tahu lah yang ada di pikiran lo,”
lanjutnya lagi yang membuat Tantra makin salah tingkah. Ini perempuan kenapa
sih? Sensi amat dari tadi. PMS kali ya?
Ngomong-ngomong dia cenayang apa ya,
tahu aja yang aku pikirin.
“Depan kiri ya,”
Ucapan Agni menarik kesadaran Tantra.
Ia menurut. Tak lama laju mobil melambat dan berhenti tepat di sebuah rumah
bergaya modern klasik.
Rumahnya keren,
“Ok, sampai. Thanks ya,”
Tantra hanya mengangguk. Enggan
berkata apapun. Nanti salah lagi, dijutekin lagi. Kan keki juga lama kelamaan.
Agni sudah keluar mobil, namun dia
masih berdiri di sisi mobil Tantra. Tantra pun menurunkan jendela mobilnya. “Saya
langsung ya kalau gitu,”
Kepala Agni mengangguk. “Makasih
ya."
“Sama-sa…,”
“AGNI!”
Agni menoleh dan menemukan Meliana,
tetangganya melambaikan tangan seraya menghampirinya.
“Hai, Mel!” Sapa Agni.
“Baru balik lo?” Tanya Meliana ketika
jarak mereka makin dekat.
Agni mengangguk. “Nah lo nggak gawe?”
“Tiga hari DL gue, jadi hari ini
dikasih izin libur sehari.” Jawab Meliana. “Eh, sama siapa lo?” Meliana mencoba
melongokkan kepalanya untuk melihat sosok di balik kemudi. Sedetik kemudian
matanya melebar kaget.
“TANTRA!”
“ Loh, Mel! Kok di sini?” sahut
Tantra tak kalah kaget. Dunia begitu
sempit kah?
“Kalian saling kenal?” tanya Agni
penasaran.
Tantra reflek mengangguk, sedangkan
Meliana tertawa lebar. “Ya kenal lah. Dia ini kan sahabat sekaligus roommatenya pacar gu… ups salah mantan
pacar gue.”
“Siapa?” Dahi Agni berkerut.
“Si Gerry. Lo ingat?”
“Oh, cowok tengi… tunggu maksud lo
sahabat?” Kerutan di dahi Agni bertambah. “Jangan bilang dia cowok yang dulu
pernah mau lo kenalin ke gue.”
“Emang,” tukas Meliana santai. “Cuma
kan kalian nggak pernah ketemu, keburu gue putus.”
Eh?
Hah?
“Jadi maksudnya Agni, cewek yang dulu
mau lo kenalin ke gue, Mel!”
“Tepat.”
Seketika bola mata Tantra terbelalak
tak percaya. Ia menatap Agni yang sama terkejutnya. Ya Tuhan, untung nggak jadi,
bisik Tantra dalam hati.
Cewek jutek kayak gini, siapa tahan!
***
Lampung, September 2016
0 komentar:
Posting Komentar