sebelumnya di sini
“Jadi tetap bakal dibuat, Mbak?”
tanya Agni pada Lintang. Sungguh, rasa penasarannya meninggi, mengingat tadi
pagi ia sempat bertemu Tantra dan seorang lelaki baya kepercayaan Bram Adinata.
“Jadi…,” Lintang menggaruk-garuk
kepalanya. Agni mengerut melihatnya.
“Namanya orang kaya, Mbak.”
“Iya sih. Aneh-aneh ya,” seringai
Lintang yang dapat dipahami Agni.
“Gue bukan orang kaya, Mbak. Kakak
sama Emak gue yang kaya.”
Lintang terkekeh. “Mama lo anaknya
cuma dua, Agni. Lo sama Abang lo doang. Jadi hartanya ke siapa lagi kalau nggak
kalian.”
“Apaan sih, Mbak. Cari topik lain
ah!”
Lintang tersenyum simpul. Seperti itu
seorang Agni yang dikenalnya bertahun-tahun. Lahir di keluarga kaya tak membuatnya
sombong. Justru dia paling enggan jika disinggung terkait kekayaan keluarganya.
Agni bisa saja bekerja di perusahaan keluarga dengan jabatan tinggi, tetapi
gadis itu justru memilih menjadi pembaca berita pagi.
“Ni,”
“Hmm,”
“Lo kemarin balik sama asistennya
Askar kan?”
Agni mengangguk. “Nggak sengaja
ketemu di bawah,”
“Cakep tuh!”
“Siapa?”
“Asistennya Askar lah.” sahut
Lintang.
“Tantra?”
“Iya. Tantra. Tadi pas meeting kan ada dia. Setelah gue
perhatiin, cakep juga.” Sahut Lintang.“Ya
tapi masih kalah sih sama bosnya.”
Agni memutar bola matanya jengah. “Mbak
ini ngomong apa sih,” ujarnya mencoba mengabaikan.
“Ya kali lo demen. Secara lo kan udah
lama kayaknya ngejomblo,”
Agni mendengus. Namun tak membalas
perkataan Lintang sama sekali. Toh, memang seperti itu faktanya. Dirinya
jomblo. Single. Belum punya pasangan
resmi.
Belum ya, bukan tidak!
“Eh Ni, mengkhayal yuk!”
“Mengkhayal apaan lagi?” Agni
mengernyit menatap Lintang. Lintang itu begitu, suka aneh-aneh.
“Gimana rasanya kalau jadi istri anak
konglomerat sekaligus pengusaha sukses macam Askar?”
Gerr…
***
Mendengar program acara sudah mulai
dibahas oleh tim, Askar makin dilanda kegusaran. Hidupnya tak tenang,
pikirannya tidak fokus. Buyar. Bahkan
sejak Tantra keluar ruangannya, Askar tak melakukan apapun. Tumpukan berkas
terlihat rapi di atas meja, tak tersentuh. Jemarinya justru sibuk mengetuk-ngetuk meja saja
dengan isi kepala yang dipenuhi berbagai rencana untuk menggagalkan acara
tersebut.
Harus ada rencana, bisiknya dalam
hati. Persetan ah dengan Papa!
Tapi apa?
Ide Azka yang belum terlaksana saja
sudah dicurigai.
Askar menghela napas kasar. Ada apa sih dengan pernikahan? Begitu
pentingkah untuk kedua orang tuanya. Toh, yang menikah dirinya bukan mereka.
Kenapa jadi mereka yang begitu sibuk.
Keturunan?
Ck, alasan apalagi memangnya selain
itu. Adinata tentunya butuh penerus. Dan sialnya, dirinya anak tunggal. Jelas
tak ada pilihan lain.
Sayembara… sayembara…sayemb…
Askar terdiam sejenak. Dahinya
mengerut. Tak lama kemudian ia menghubungi Tantra untuk kembali menghadap
dirinya. Hanya selang beberapa detik, sebuah ketukan di pintu terdengar.
“Masuk!”
Tantra muncul. Sesaat ia meringis. Entah mau apa lagi bosnya ini?
“Konsep acara sejauh mana?”
“Acara?” Ulang Tantra sebelum
kemudian mulutnya membulat, menyadari maksud perkataan sang atasan.
“Rencananya akan ada audisi tiap
kota. Ada kriteria-kriteria juga untuk wanita yang akan dipilih dan…,”
“Terdengar seperti acara kontes
kecantikan,”
Tantra mengangguk. “Secara garis
besar memang begitu, Mas. Pak Bram ingin wanita yang sempurna. Nggak hanya cantik
tapi juga smart. Jadi tentu saja
proses seleksi cukup ketat. ”
Askar manggut-manggut sebelum
kemudian tubuhnya condong ke depang. Kedua tanganya bertaut di depan dada dan
bertumpu di atas meja.
“It’s
ok acara tetap dibuat…,”
Ucapan Askar yang menggantung seketika membuat kerutan di
dahi Tantra. Mas Askar setuju acara tetap
dibuat?
“Tapi buatlah seolah-olah itu bukan
acara ajang pencarian jodoh.”
“Maksud, Mas?”
“Gue pengen mereka nggak tahu,” sahut
Askar. “Dengan begitu gue bisa bebas menentukan pilihan. Gue juga bakal ikut
dalam proses seleksi akhir. Gimana?”
Tantra memilih diam. Kepalanya
dipenuhi berbagai pikiran tentang kata-kata Askar. Tak butuh lama baginya untuk
memahami maksud kalimat tersebut.
“Tapi Pak Bram?”
Askar menyeringai. “Itu urusan gue.
Pastiin aja lo kerjain bagian lo.”
“Yakin, Mas?”
Seringaian Askar seketika menghilang,
Berganti delikan tajam. “Harus, Tra! Papa harus menyetujui ide gue.” Ujarnya
kesal.
“Gimana pun caranya.”
Tantra tersenyum kecut. Sungguh, ia
sendiri tak menginginkan ide Bram terlaksana. Konyol memang, namun tetap saja
akan menjadi skandal yang heboh di masyarakat. Apalagi mengingat kedudukan
Askar serta statusnya. Tak hanya berbuah cibiran, tapi juga akan makin banyak
wanita ‘tamak’ yang hanya akan mengincar harta Askar.
Seburuk-buruknya Mas Askar, Tantra
tetap berharap wanita yang baik lah yang akan mendampingi lelaki itu.
Dan tentu saja tak melulu soal harta.
“Ikut gue!”
“Hah? Kemana, Mas?”
“Ke rumah,”
“Ngapain?”
“Ngomong sama Papa lah,” decak Askar.
“Emang lo kira mau ngapain, hah!”
***
Tantra sedikit kikuk saat memasuki kediaman
Adinata. Meski bukan pertama kalinya, tetap saja rumah besar penuh fasilitas
mewah bukan sesuatu yang akrab dengannya. Ia tumbuh dan besar dalam lingkungan
yang sederhana. Jauh berbeda dengan seorang Askar.
“Tantra!”
Gayatri tersenyum lebar menyeru
namanya. Ia baru saja tiba di rumah dan mendapati asisten anaknya duduk sendiri
di ruang tengah. “Ya ampun, lama sekali kita nggak ketemu ya,”
Tantra tersenyum dan mengangguk.
“Iya, Bu.”
Dengan takzim, Tantra menghampiri
wanita baya itu lalu mencium tangannya.
“Hmm, makin cakep aja sekarang.”
Sambungnya yang membuat Tantra tergelak. Ini yang disukai dari keluarga Askar.
Sosok Ibu yang begitu supel dan menyenangkan. Mengingatkan pada sosok Ibunya di
rumah. Sejak awal, Gayatri tak memandang dirinya sebelah mata. Meskipun hanya
seorang karyawan tetap saja wanita itu memperlakukannya dengan sangat baik.
Ramah dan tidak sombong.
“Kok ketawa?” kernyit Gayatri. “Ini
serius loh,”
“Saya nggak berubah kok, Bu. Masih
gini-gini aja,”
“Hmm,” Gayatri menggeleng. “Kamu itu
lebih berisi. Pas. Nggak kurus kayak dulu.”
Tantra terkekeh. See! Bahkan seorang Gayatri Adinata mengamati perubahan fisiknya.
“Sama siapa? Askar?” tanya Gayatri
yang dijawab anggukan Tantra.
“Terus mana anak bandel itu?” Gayatri
bertanya lagi.
Belum sempat Tantra menjawab. Gayatri
sudah berucap, “Pasti deh di ruangan Papa. Ngomongin kerjaan kok di rumah?”
“Bukan kerjaan kok, Bu,”
Dahi Gayatri berkerut. “Lalu apa?”
“Ehmm… soal—soal ide Bapak itu…”
“Oh,” Senyum Gayatri merekah. Tantra
sedikit heran, tetapi tak lama otaknya sudah dapat mencerna maksud dibalik
senyuman itu.
Apalagi kalau bukan menantu. Ibu Askar
kan memang sudah lama mendamba menantu di rumah ini.
“Kamu kapan?”
Eh?
“Ayolah, Tantra! Jangan ikut-ikutan
bos kamu melajang sampe umur udah lewat kepala tiga kayak gitu,”
Duh!
“Pasti ada kan cewek yang kamu
taksir? Ayo-ayo sini cerita sama Ibu. Atau kamu masih jomblo? Ya Tuhan, Tantra! Kalau gitu mau Ibu cariin. Teman Ibu
banyak loh anak gadisnya yang cantik-cantik.”
Haduh…
Tantra hanya bisa tersenyum tipis
mendengar rentetan kalimat Gayatri. Ia tak menjawab, tak juga mengangguk. Diam
dan tersenyum tampaknya pilihan terbaik.
“TANTRA!”
Refleks Tantra menoleh. Askar berdiri
di pintu ruang kerja Bram dengan tangan melambai ke arah dirinya. “Sini!”
perintah Askar yang seketika membuatnya bernafas lega.
Fiuh, bebas juga dari Ibu…
“Hai, Mam!” ujar Askar saat menyadari keberadaan Ibunya di depan Tantra.
“Sorry, Tantra gue ambil dulu.
Penting!”
Gayatri mengangguk lalu tersenyum
simpul. “Ambil aja! Kalau bahasannya calon mantu sih, Mama senang aja.”
Askar merengut, Tantra tergelak. Ibu Askar memang menyenangkan!
***
“Turun, Agni!”
Agni mendengus sejenak sebelum
kemudian keluar dari mobil yang dikendarainya. Tak lama ia bergabung dengan
Ibunya yang sudah keluar lebih dulu.
“Muka juteknya dibuang dulu!”
“Mama apa sih?”
“Apa sih-apa sih!” Mama menggeleng.
“Itu wajah nggak cocok dibawa ke pesta.”
Bibir Agni mengerucut. “Kan aku
memang nggak mau ke pesta. Mama aja yang maksa suruh datang,”
“Nggak enak, Ni! Sonya sama Keynan itu
baik. Lagian apa salahnya ngeluangin waktu untuk datang. Kamu juga lagi nggak
sibuk kan?”
“Kenapa nggak Mama sendiri aja sih
yang berangkat?” protes Agni. Sungguh, ia tak begitu menyukai hal yang berbau
pesta, terutama pesta-pesta kaum jetset.
Buang-buang uang, hura-hura dan yang pasti cuma jadi ajang pamer.
Agni membenci hal itu.
Tapi malam ini pengecualian. Mama
memaksanya untuk menemani ke pesta ulang tahun pernikahan sahabatnya. Pak Min
sedang meriang, dan Agni tak ada alasan untuk menolak.
“Udah ah manyun aja! Ayo masuk!” Ajak
Mama. “Ya kali di dalam banyak cowok cakep, Ni!”
Agni melotot. Ck, Mama ini…
Persis seperti yang Agni duga. Pesta
ulang tahun pernikahan Tante Sonya dan Om Keynan berlangsung begitu meriah.
Menyewa ballroom sebuah hotel ternama
dengan berbagai dekorasi mewah nan elegan. Ditambah dengan tamu undangan yang
begitu ramai.
Ah, ngalah-ngalahin pesta resepsi nikah
saja!
Tapi sudahlah! Mereka orang kaya,
suka-suka juga mau melakukan apa.
Meskipun tetap saja. Sayang! Kalau untuk kasih makan orang
miskin, entah berapa ratus orang yang bisa menikmati.
Sesaat setelah berbasa-basi menyapa
Tante Sonya dan Om Keynan, Agni pun memilih melipir di salah satu sudut. Dibiarkannya
Mama berkumpul dengan teman-temannya. Ia enggan bergabung. Topik pembicaraan
sudah bisa ditebak. Apalagi kalau bukan saling membanggakan anak atau heboh fashion terbaru saat ini. Jangan salah, meski sudah terhitung baya
mereka tak ketinggalan bergaya seperti kaum muda.
Oh ya satu lagi, terlontarnya
pertanyaan yang Agni benci.
Kapan nikah?
Ck, udah kayak nggak ada pertanyaan
lain aja sih.
“Loh Agni?”
Agni menoleh. Tampak Azka, bosnya
berdiri tak jauh darinya. “Diundang Tante Sonya juga?”
“Bukan saya, Mas. Tapi Mama,”
Jawabnya dengan dagu terangkat menunjuk ke sekumpulan Ibu-Ibu yang tengah asyik
berbincang-bincang.
“Saya sih cuma jadi sopir, Mas.” Katanya
melanjutkan.
Azka tertawa kecil. Kepalanya
menggeleng geli. “Terpaksa nih ceritanya,”
Agni mengangkat bahunya. “Nah Mas
sendiri?”
“Istriku kan ponakan Tante Sonya,”
Kepala Agni manggut-manggut mendengar
perkataan Azka. Pantas saja kalau begitu! Agni baru saja hendak bertanya dimana
keberadaan istri bosnya, ketika matanya mendapati sosok laki-laki berjalan
mendekati keduanya.
Mata Agni menyipit untuk memastikan,
namun tak lama ia mengumpat dalam hati.
Sial! Dia juga ada di sini?
“Mas, gue cari-cari lo jug… Eh ada
Agni!”
Agni mengangguk dan memaksa sebuah
senyuman. Askar ternyata hadir di pesta ini juga. “Hai,”
“Hmm, makin cantik aja kamu, Ni!”
Huh, playboy berulah!
“Lama kan ya kita nggak ketemu.
Terakhir ketemu di kantor Mas Azka, tapi nggak lama ngobrol,”
Agni hanya mengangguk mengiyakan
kata-kata Askar. Sungguh, ia tak berminat meladeni lelaki itu.
Sangat-sangat tak berminat.
***
selanjutnya di sini
good post mbak
BalasHapus