Jumat, 02 Desember 2016

Sayembara Askar (13)




Sebelumnya di sini 
 
“Mau membangun rumah tangga denganku?”
Tubuh Agni menegang seketika. Matanya terbeliak tak percaya. Namun hanya beberapa detik, sebelum kemudian Askar tertawa terbahak-bahak.
“Ya ampun, Ni! Serius banget. Bercanda lah,” ucapnya santai mengabaikan wajah Agni yang kini mulai memerah.
“Hidup itu sekali. Jadi dibikin have fun! Mumpung masih muda ini. Iya kan?”
Sial!
Agni melengos. Dialihkan pandangan ke balik jendela seraya menarik napas panjang sebelum kemudian menghembuskannya perlahan.
Askar, sialan!
Nggak tahu apa aku nyaris kena jantungan!
Ck, manusia ini sangat menyebalkan.
Agni tak henti merutuk dalam hati. Tak hanya Askar, tapi dirinya yang nyaris percaya kata-kata lelaki itu. Nyaris!
“Menikah itu hidup terikat, Ni. Dan kupikir kalau mau hidup seperti itu harus kita pikirkan baik-baik.”
Terserah! Gumam Agni dalam hati.  Askar menikah?
Kalau pun ia sudah memikirkan hal itu jauh hari, tentu tak ada gagasan sayembara dari ayahnya kan?
Sudahlah! Bukan urusanku.
Agni terus bermonolog dalam hati hingga tanpa sadar Askar telah menghentikan mobilnya di sebuah restoran yang cukup terkenal.
“Kok ke sini?” tanya Agni sadar.
“Kamu pasti belum makan kan?” Askar tersenyum. Senyum yang seketika berbuah cibiran dalam hati Agni. Dulu mungkin dirinya akan girang bukan main saat melihat senyum yang Askar tunjukkan. Sejujurnya dengan senyum, kadar ketampanan Askar menjadi berlipat-lipat.
Tapi itu dulu, sekarang?
Ah, Apalagi obrolan tadi. Benar-benar menjengkelkan.
“Yuk! Keluar!”
Agni menoleh. Ternyata Askar sudah keluar dan membukakan pintu mobil untuknya. Perlakuan yang manis tentu saja, tapi…
Bodo amatlah!
***

“Itu siapa, Ni?”
Agni yang hendak masuk rumah terkejut karena keberadaan Mama di balik pintu. Iapun mendengus. Pasti ngintip, gumamnya dalam hati.
“Mama ini loh, ngagetin aja!” ujarnya seraya melengang santai memasuki rumah.
“Pertanyaan Mama belum dijawab loh,” Ucap Mama sambil menyejajari langkah anaknya. Ia sebenarnya tak berniat mengintip, hanya kebetulan saja ketika hendak keluar rumah mendapati mobil asing berada di depan rumah dengan sosok Agni yang muncul kemudian.
Penasaran? Pasti!
“Askar.”
“Askar?” Dahi Mama berlipat. “Askar Adinata?”
Agni kembali mengangguk. “Kebetulan aja dia mau ke kantornya, aku mau pulang.” Jelasnya sembari menghempaskan diri di sofa putih yang terletak di ruang keluarga. Tak lama ia meraih ponsel dari dalam tas lalu fokus terhadap benda berbentuk segi empat tersebut.
“Oh gitu,” Bibir Mama membulat. Pandangannya menelusuri sang putri sebelum kemudian senyum kecil terbit di wajahnya.
“Nggak usah mikir macam-macam deh, Ma!” ucap Agni tanpa mengalihkan pandangan. Ia tahu persis apa yang ada di pikiran Mama. “Mama udah pernah bilang loh nggak mau ikut-ikutan soal jodoh. Murni urusanku.” Sambung Agni yang beroleh tawa sang Ibu.
“Iya sih.” gumam wanita baya itu. “Tapi kayak gimana gitu, Ni kalau sampai sama Askar?”
“Gimana apanya?”
“Ya lucu aja kalau sampai jadi besanan sama keluarga Adinata,”
“Maksud Mama?” Agni mendongak. Kali ini ia menatap Mama.
“Mama belum pernah cerita ya,”
“Cerita apa?” tanya Agni tak sabar. Mengamati sikap Mamanya yang senyum-senyum sendiri dirinya pun makin penasaran.
“Jadi dulu om Bram itu pernah deketin Mama,”
Agni terbeliak. Mulutnya ternganga tak percaya. “Se—serius, Ma?”
“Iya lah.” Senyum Mama melebar. “Cuma Opa kamu nggak setuju. Dia itu pacarnya banyak. Jadi Opa nggak suka,”
 “Ma—ma pacaran?”
“Nggak! Cuma kenalan dan beberapa kali jalan bareng. Tapi nggak lama sih. Keburu Mama pindah ke Surabaya waktu itu.”
Agni terdiam. Kepalanya manggut-manggut. Jadi sebenarnya ada hubungan masa lalu antara Mama dan Om Adinata. Tapi tunggu, Mama bilang pacarnya Om Adinata banyak.
Like father like son?
“Tapi nggak ada yang tahu sebenarnya hati manusia, Ni.”
Agni kembali mengangkat kepalanya. Kerut di dahinya terbentuk. “Bram boleh jadi playboy di masa mudanya, tapi ketika membangun rumah tangga dia begitu setia dan cinta keluarga.”
Hati Agni mendadak nyeri. Sedikit banyak ia mulai mengetahui penyebab perpisahan orang tuanya. Dulu Arga, kakaknya serta orang dewasa di sekitarnya begitu rapi menutupi perselingkuhan ayahnya, tapi seiring berjalannya waktu Agni pun akhirnya mengetahui hal tersebut.
Ah, lelaki…
“Mama…,” Agni bergeser duduk. Diusapnya dengan lembut bahu sang Ibu.
“Kenapa?”
“Hah?” Agni melongo. Niat menghibur tapi…
“Udah! Masa lalu.” Mama nyengir. “Tapi kamu ngerti kan maksud Mama?”
“Maksud apaan lagi?” dengus Agni gusar. Ck, Mamaku ini…
“Ish, anak ini udah disekolahin tinggi-tinggi masa telmi!” gerutu Mama yang membuat bibir Agni mencebik kesal.
“Playboy itu belum tentu selamanya playboy. Bisa jadi loh setelah menikah dia jadi pria yang begitu mencintai keluarganya.”
“Oh, it…,” Kalimat Agni terhenti. Ia mengernyitkan dahi dan menatap Ibunya yang mengulas senyum tak biasa. Sedetik kemudian, Agni melengos. Ia mulai memahami arah pembicaraan sang Mama.
“Ya kan siapa tahu, Ni!”
Hadeh, Mama!
***
Nafas Tantra tercekat. Bibirnya kelu. Pemandangan di depannya begitu memukau. Teramat memukau hingga ia kehabisan kata-kata.
“Gimana cantik-cantik kan?”
Pertanyaan Lintang menarik kesadarannya seketika. “Ca—cantik. Cantik-cantik, Mbak.” ujarnya terbata. Tapi cuma satu yang paling cantik!
“Masuk semua criteria si bos nggak?” Lintang kembali bertanya. “Masuklah ya. Seksi-seksi juga.” Lanjut Lintang yang membuat Tantra menoleh dengan cepat.
“Kenapa lo? Udah! Bos lo itu kan baj*ngan tampan yang cukup terkenal.”
Tantra meringis. Tampan sih, tapi baj*ngan?
Memang apalagi sebutan buat Mas Askar yang pas selain itu.
“Ngomong-ngomong kok dia belum datang?” tanya Lintang celingukan.
“Udah datang kok. Tadi sama saya. Cuma lagi di ruangan mas Azka.”
Lintang diam. kepalanya mengangguk-angguk. Tak lama ia mengundurkan diri untuk kemudian mengecek persiapan syuting hari ini. Tantra hanya mengangguk. dalam hati bersorak senang karena tak ada gangguan untuk memandangi sosok Salsa yang dirasa paling cantik dan memukau dibanding peserta lain.
Hari ini para peserta yang lolos mulai menjalani syuting perkenalan diri. Tak hanya itu mereka juga harus menjalani pemotretan untuk keperluan promo dan kegiatan selanjutnya. Program acara sendiri tak disiarkan langsung, tapi nanti setelah keseluruhan acara selesai terselenggara.
“Tantra!”
Merasa namanya dipanggil Tantra pun membalikkan tubuhnya. Meskipun dalam hati sempat mengumpat karena kegiatannya terganggu.
“Ngapain lo?”
“Nggak ngapa-ngapain, Mas.” Jawab Tantra sedikit gugup. Tak mungkin kan dirinya mengatakan yang sebenarnya.
“Kenapa? Cantik-cantik ya?”
Eh?
Askar mengulum senyum. “Baguslah. Itu berarti lo masih normal.”
Tantra mengernyit. “Makanya jangan jomblo melulu. Nikmati hidup!” kata Askar sembari tertawa-tawa. Sudah lebih dari dua tahun Tantra bekerja dengannya, tapi tak sekalipun Askar mendapati Tantra mempunyai pasangan. Dirinya bahkan pernah menduga jika asistennya memiliki orientasi seksual. Dugaan yang kemudian dibantah sendiri oleh Tantra. Dia normal. Masih lelaki yang tentu saja menginginkan wanita untuk menjadi pasangan hidupnya.
“Siang ini gue ada jadwal nggak?”
Tantra menggeleng. “Nggak, Mas.”
“Ok. Gue nggak balik ke kantor kalau gitu.”
Kali ini Tantra mengangguk. “Iya, Mas.”
Hening sejenak sebelum kemudian Askar menyipit menatap Tantra. “Iya-iya. Kenapa masih di sini?”
“Kan gue yang nggak balik ke kantor. Bukan lo,” sambung Askar yang membuat Tantra meringis. Salah aku!
“Ma—af, Mas!”
“Maaf. Udah sana balik.”
“I—iya!” tantra mengangguk. Tak lama ia undur diri. Nasib-nasib! Kalau Cuma karyawan ya begini. Apa kata bos harus diturut.
Ah, padahal ia masih ingin melihat Salsa. Ngomong-ngomong gadis itu menyadari keberadaannya tidak ya?
***
Brak
Agni yang baru saja keluar lobby menoleh. Detik selanjutnya ia tergelak saat mendapati sumber suara. Tawanya pun makin kencang saat menyadari sosok penyebab sumber suara tersebut.
“Ya ampun Mbak Agni malah ketawa bukannya ditolong Masnya.” Satpam yang berjaga di lobby kantor datang tergopoh-gopoh. Alih-alih mendengarkan ucapan Pak satpam, Agni justru mencibir.
“Biarin, Pak! Lagian salah siapa jalan nggak lihat-lihat.” ujarnya santai. “Keasyikan main hp sih,” ujarnya lagi yang membuat Tantra nyengir.
Memang salahnya sih! Begitu semangat karena Salsa membalas pesannya hingga tak sadar ada kotak sampah di depannya.
“Mas nya nggak papa?” tanya Satpam yang disambut gelengan Tantra.
“Nggak. Saya nggak papa kok, Pak.”
“Bener, Mas?”
Tantra mengangguk. “Iya, Pak. Cuma kotak sampah aja.”
“Tapi lumayan lah bikin sakit.”
Celetukan Agni membuat Tantra mendesis kesal. Gerr, cewek ini… Tapi memang benar juga sih! Ada rasa ngilu di tungkai kakinya saat ini.
“Udah, Pak. Nggak papa. Lagian saya mau pulang juga.”
“Oh gitu ya, Mas.” Raut wajah Pak Satpam terlihat lega. “Ya udah Mas nya hati-hati. Kalau jalan lihat-lihat. Jangan keasyikan main hp.”
Tantra tersenyum kecut. Sedikit malu! Beruntung lobby tak begitu banyak orang, hingga dirinya tak harus menjadi pusat perhatian.
“Iya, Pak. Makasih. Kalau gitu saya permisi.”
Tantra baru saja membalikkan tubuhnya saat menyadari sesuatu. Ia pun menoleh dan menemukan Agni yang tengah fokus dengan ponselnya.
“Mau pulang, Ni?” tanyanya kemudian. Tawaran pertemanan yang pernah Agni ajukan, disambut baik oleh Tantra. Toh tak ada salahnya. Agni mungkin terlihat jutek dan galak, tapi ia lawan bicara yang asyik. Apapun topic pembicaraan, Agni dapat memahami dengan baik.
Gadis cerdas.
“Iya.” Angguk Agni.
“Sendiri?”
“Lah emangnya lo lihat gue sama siapa, Tra?”
Tantra mencibir dalam hati. Agni ya Agni. Tetap saja jutek!  “Maksudku pulang sendiri apa dijemput?”
“Oh. Harusnya sih dijemput. Tapi kayaknya gue pesen taksi aja. Supir gue bilang mobil lagi mogok.”
Tantra mengangguk-angguk. Tak lama ia menawarkan tumpangan. “Ya udah bareng aku. Kan rumah kamu searah,”
“Nggak ngerepotin?”
Kepala Tantra menggeleng. “Engg...,”
“Baguslah. Siapa nolak tumpangan gratis.” Sela Agni yang seketika membelalakkan mata Tantra. Nggak ada basa-basi, huh!
Ck, gadis aneh!
***
Lampung, Desember 2016

0 komentar:

Posting Komentar