Kamis, 21 Juli 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (28)



Dua Puluh Delapan

sebelumnya  di sini

Ada yang berbeda dari Dae Ho sekembalinya ia dari negaranya. Wajahnya terlihat sumringah dan berbinar. Entah apa yang terjadi. Mirah sejujurnya penasaran, namun sebisa mungkin ia menahan diri. Fakta dirinya bukan siapa-siapa selalu menjadi pengingat agar tak terlalu ikut campur urusan Dae Ho.

“Mira, kemari!”

Mirah menurut. Ia bergegas mendekat dan duduk di sofa tepat di Dae Ho. Hal yang memang diinginkan laki-laki itu. Sesaat Dae Ho mengeluarkan bungkusan yang kemudian diberikan pada Mirah.

Mirah pun mengernyit bingung.

“Untukmu. Terima!”

“Ini apa Oppa?”

“Buka saja.” senyum Dae Ho merekah membuat hati Mirah sedikit berdesir. Tak lama kemudian bungkusan pun terbuka, Mirah sedikit terkejut dengan isinya.

“Namanya hanbok. Pakaian khas negara kami.” Jelas Dae Ho.

Mirah mengangguk. Ia sudah sering melihatnya di drama-drama korea yang pernah ditontonnya. Tapi melihat langsung baru kali ini.

“Cobalah! Kamu pasti cantik mengenakannya,”

Pipi Mirah merona. Pujian Dae Ho memang mampu membuatnya tersipu. Dengan tersenyum malu, ia pun menuju kamar untuk mencoba hanbok pemberian Dae Ho.

Sesaat setelah masuk kamar, Mirah sedikit kebingungan dengan cara mengenakan hanbok. Ia pun kembali ke luar dan menatap Dae Ho.

“Bagaimana pakainya, Oppa?”

Dae Ho tersenyum lalu bangkit. Ia menarik Mirah ke kamar untuk kemudian membantu wanita itu mengenakan hanbok.

“Ini disebut chima,” Dae Ho mengulurkan kain panjang berwarna merah muda pada Mirah. Mirah manggut-manggut karena ternyata rok panjang yang biasa ada di drama-drama yang ditontonnya adalah kain sebatas dada bertali satu menjuntai hingga ke bawah dimana semakin ke bawah semakin lebar. Dae Ho membantunya memasangkan di tubuhnya.

“Kalau ini disebut Jeogori,” Mirah diam dan menurut saat Dae Ho membantunya memakai sebuah rompi berlengan panjang dengan bentuk melengkung di tepinya. Ada sebuah tali panjang untuk menutupnya.

Dae Ho tersenyum sembari mengikat tali tersebut. “Ini namanya otgoreum. Kamu tidak boleh salah mengikatnya,”

Mirah lagi-lagi mengangguk. Ia hanya membiarkan Dae Ho melakukan semuanya. Penjelasan Dae Ho pun sedikit diabaikan. Sejujurnya Mirah kesulitan mendengar kata-kata Korea yang Dae Ho ucapkan.

Sesaat setelah dirasa selesai. Dae Ho memutar tubuh Mirah dihadapan cermin. Mirah pun ternganga. Sungguh pakaian tersebut sangat indah. Kombinasi warna kuning lembut serta merah muda terasa pas di kulit putihnya. Senyum Mirah pun mengembang. Hatinya merasa hangat.

Oppa begitu baik dan perhatian, bisiknya dalam hati.

“Cantik!”

Mirah tersenyum senang. Ia berbalik dan melihat Dae Ho yang juga tersenyum ke arahnya. Wajah laki-laki itu pun terlihat senang. Tak lama ia langkah mendekati Mirah lalu menciumnya dengan perlahan. Wajah Mirah pun merona kembali.

“Kamu senang dengan hadiah saya?”

Mirah mengangguk perlahan. Tentu saja!

“Terima kasih, Oppa!”

Dae Ho tersenyum. “Saya senang kalau kamu senang, Mira. Kelak kamu harus hidup bahagia ya.”

Mirah mengernyit mendengar kalimat yang Dae Ho katakan. Terdengar seperti sebuah perpisahan. Mendadak Mirah merasa hatinya tercubit. Memang mereka kelak akan berpisah kan?

Ah, kontrak tetaplah kontrak. Hanya bersifat sementara.

“Tentu saja, Oppa.” Ucap Mirah pelan.

“Good! Saya takkan melupakanmu, Mira!”

Mirah menunduk dan mengangguk. Ia tak mengatakan apapun. Sekuat mungkin ia menahan matanya yang terasa lembab dan mulai berkaca-kaca.

Jangan pernah berharap lebih, Mir! Ingatnya dalam hati.

“Oh ya ada yang ingin saya katakan,” Dae Ho menuntun Mirah untuk duduk kembali ke sofa.

“Sebelumnya saya minta maaf,” ujar Dae Ho lagi.

Ada firasat tak enak yang mendadak Mirah rasakan. Entah apa, tapi yang ia yakini sesuatu hal buruk akan terjadi.

“Saya suka kamu, Mira. Kamu baik, cantik dan perhatian. Tapi maaf…,” Kalimat Dae Ho terputus. Matanya menatap Mirah lekat-lekat. Tak lama ia menghirup napas dalam-dalam.

“Kita harus berakhir.”

Mata Mirah membulat. “Tapi kamu tenang saja. Saya akan tetap bayar kamu sesuai perjanjian.”

Tubuh Mirah membeku seketika. Ia ternganga tak percaya. Jadi ini firasat buruk yang terjadi? Pernikahannya harus diakhiri?

“Untuk semua kebutuhan kamu selama waktu perjanjian juga akan tetap saya bayar, Mira.”

Mirah merasa matanya memanas. Hatinya kali ini benar-benar terluka. Dikala dirinya merasa patah hati, Dae Ho justru lebih mencemaskan bayaran untuknya.

Cintaku bertepuk sebelah tangan.

“Ke—kenapa?” Mirah memberanikan diri bertanya.

“Saya akan pulang dan menikah.”

Dada Mirah terasa sesak seketika. Nafasnya tercekat. Me—ni—kah?

“Kemarin waktu saya pulang, saya bertemu kekasih saya dan saya melamarnya. Ternyata dia menerimanya dan kami akan segera menikah.”

“Wa—wanita yang kemarin aku li—hat di café?” sosok perempuan cantik yang bersama Dae Ho beberapa waktu lalu pun melintas di benak Mirah. Cantik, langsing, tinggi dan putih. Kombinasi yang pas dan menawan.

“Tidak. Bukan dia,” geleng Dae Ho. “Dia hanya teman saya di sini.” Lanjutnya menjelaskan.

“Saya punya pacar di Korea. Tapi kami sibuk karier. Tidak, sekarang tidak lagi karena kami memikirkan menikah lalu punya anak. Dan itu semua karena kamu, Mira,”

“A—ku?”

Dae Ho mengangguk. “Karena kamu saya tahu menikah rasanya menyenangkan.”

Dada Mirah semakin sesak. Air mata terus melesak keluar, namun ia masih berusaha untuk menahannya. Sungguh kenyataan ini semakin menyakiti hatinya.

Jadi tak ada kesempatan bagiku sama sekali…

“Satu bulan, Mirah. Hanya satu bulan saya di sini untuk menyelesaikan pekerjaan. Selanjutnya bersamaan saya kembali ke Korea, kamu juga bebas.”

Mirah terbelalak. “Kamu tidak masalah kan menemaniku satu bulan lagi?”

***

Perih

Sakit

Terluka

Mirah menarik napas dalam-dalam. Untuk kedua kalinya ia terluka. Dulu saat Faisal memilih wanita lain lalu mereka bercerai sekarang Dae Ho juga melakukan hal sama. Hanya bedanya dalam kasus Dae Ho, dirinya lah wanita lain itu. Orang ketiga dalam hubungan Dae Ho dan kekasihnya.

Ah, siapapun dirinya, tetap saja dalam pandangan Dae Ho bukan wanita yang menarik yang lantas bisa berbahagia hidup dengan laki-laki itu. Mungkin inilah yang pepatah katakan, bagai pungguk merindukan bulan.

Mustahil! Takkan mungkin terjadi.

Mirah menoleh dan menatap Dae Ho yang terlihat begitu damai dalam tidurnya. Lelaki itu kelelahan, sama sepertinya. Tetapi Dae Ho bisa tertidur pulas setelah menyalurkan hasratnya, tidak dengan dirinya. Mirah masih belum menerima jika pada akhirnya setelah satu bulan mereka akan berpisah.

Ya Tuhan, tak adakah kesempatan untukku sama sekali?

Tak berhak bahagiakah aku…

Tangan Mirah terulur untuk menggapai wajah Dae Ho. Tetapi tiba-tiba terhenti. Mirah takut hal itu akan membangunkan suaminya. Akhirnya ia pun memilih beranjak dari kasur dan melangkah ke luar kamar.

Mirah terisak. Tangisnya pecah dengan tangan yang menutup mulutnya. Lagi-lagi ia takut membangunkan Dae Ho. Ia tak ingin Dae Ho berpikir macam-macam. Toh, siapa dirinya? Apapun yang terjadi, ia tetap akan ditinggalkan.

Malangnya nasibku…

***

selanjutnya di sini





2 komentar: