3. Sekilas masa lalu
“Kamu cantik,”
“Hah?”
“Gue Askar.”
“A--agni.”
Mengingat nama Askar Adinata, ingatan
Agni berputar pada kejadian dua tahun silam. Saat dimana sosok Askar Adinata
pertama kali dikenalnya. Ia baru saja kembali dari luar negeri pasca
menyelesaikan pendidikan ketika Arga memintanya turut bergabung di bisnis
keluarga. Agni ingat, ada sebuah proyek yang melibatkan dirinya. Dan proyek
tersebut bekerjasama dengan perusahaan yang Askar pimpin. Intensitas pertemuan
keduanya yang terlalu sering nyatanya menumbuhkan benih-benih perasaan yang
lain di hati Agni.
Tapi sayangnya, perasaan Agni
sia-sia. Bahkan sebelum kata cinta terucap, Agni sudah harus merasakan luka.
Mereka memang akrab, tetap Askar ternyata tak lebih menganggapnya sebagai
teman.
Sial!
Mata Agni mengerjap seketika.
Mengingat Askar memang selalu membuatnya gusar. Yang sungguh ia sesali dari
semuanya adalah keyakinan dirinya akan sikap dan perhatian Askar yang berunjung
pada perasaan yang sama. Agni lupa jika Askar seorang playboy. Tukang PHP!
Lupakan, Ni!
Agni menarik napas dalam-dalam
sebelum kemudian menghembuskannya. Seharusnya memang seperti itu. Askar manusia
yang harus ia lupakan. Kebersamaan mereka dulu harusnya tak lagi diingat.
Hilangkan semua.
Ya, seharusnya begitu memang!
Tapi…
Kenapa harus ada tapi sih?
Dalam hidup, Agni tak banyak
merasakan cinta. Sejarah masa lalu keluarganya menjadi trauma tersendiri di
hidupnya, sehingga membuatnya sedikit kesulitan jatuh cinta. Hanya laki-laki
hebat yang mampu meruntuhkan dinding hatinya. Dan nyatanya Askar mampu.
Sudah! Sudah, Agni! Kenapa masih
mengingatnya, gerutu Agni dalam hati.
Gagal move on, huh!”
Kalau begitu bukankah kamu sama
menyedihkan seperti dirinya.
“Agni!”
Agni terhenyak. Suara Mama terdengar
bersamaan dengan pintu kamar yang terbuka. Tak lama wanita tersebut masuk dan
duduk di tepi ranjang.
“Ada apa, Ma?” tanya Agni kemudian.
“Weekend
ada acara nggak?”
Agni mengernyit. “Siaran paling, Ma.”
“Pagi?”
Agni kembali mengangguk. Mama
tersenyum. “Baguslah! Anterin Mama ya,”
“Ke?” Mata Agni menyipit curiga. Di
usianya sekarang, Agni memang harus berhati-hati dengan ajakan Mama. Beberapa
sahabatnya sempat curhat jika mereka yang tiba-tiba diikutsertakan di acara
orangtua, selalu berujung pada ajang perjodohan. Sungguh, hal yang sesungguhnya
Agni hindari.
Aku masih bisa cari calon suami
sendiri.
“Kenapa?” Mama tersenyum simpul.
“Curiga ya mau Mama jodohin?”
Bibir Agni mencebik. “Mama ini loh.
Agni nggak mau ya dijodoh-jodohin,”
Tawa Mama berderai. “Siapa juga yang
mau jodohin?” cibirnya kemudian. “Sok tahu sih! Mama tuh mau ngajakin panti,”
“Oh, kalau gitu sih Ok!” cengir Agni.
Mama menggeleng geli.
“Nggak minat Mama jodoh-jodohin
kalian. Iya kali kalau udah cantik sekali, lah wong ini wajah pas-pasan kok
dijodohin,” Seloroh Mama yang bersambut gerutuan Agni.
“Mama ini loh, anak sendiri dihina.
Kalau wajah Agni pas-pasan, turunan siapa juga kali.”
Detik kemudian tawa kembali pecah.
Kali ini bukan hanya Mama, tapi Agni pun ikut tertawa.
***
“Lo
ngapain maksa gue kemari sih?”
Seorang
laki- laki berjaket hitam tampak gusar menatap Askar. Ia mendengus sebelum
kemudian menghempaskan tubuhnya di sofa tepat di sebelah Askar.
Askar
terkekeh. Hugo, sahabatnya memang sudah membulatkan tekad untuk tidak datang ke
bar atau club manapun pasca menikah setahun lalu. Lelaki itu benar-benar
mengubah diri menjadi pria rumahan. Meninggalkan semua kenikmatan dan
hingar-bingar kehidupan malam.
Tapi
malam ini pengecualian. Askar nyatanya berhasil membawa laki-laki itu kemari.
Ke salah satu club yang menjadi tongkrongan favorit mereka berdua sejak remaja.
“Buruan
deh ada apaan?” todong Hugo. “Kalau nggak dengar suara frustasi lo ogah gue
kemari?” sambungnya lagi.
“Ada
apaan sih?”
Askar
menyeringai. “Lo nggak kangen tempat ini?”
“Nggak!”
Balas Hugo cepat yang membuat Askar
terbahak. Hugo benar-benar menepati janji yang dibuatnya sendiri. Ck, padahal
dulu hampir tiap malam mereka menghabiskan waktu di sini.
“Yakin?”
Pancing Askar, “Lo nggak kangen cewek- cewek seksi disini?”
Hugo
berdecak, “Ck, sialan lo Askar! Gue kesini karena suara lo yang sangat
memprihatikan, dude!”
“Sadar
nggak sih lo udah kayak orang mau bunuh diri!”
Askar
tertawa sumbang. Hugo mengerjap. Puluhan tahun bersahabat, tentu ia hapal betul
karakter seorang Askar. Jelas laki-laki itu tengah diguncang prahara dalam
hidup.
Sedetik
kemudian Hugo bisa bernafas lega jika keputusannya kemari sudahlah tepat.
“Kenapa
sih lo?”
“Gue
nggak sebegitu menyedihkan sampai bunuh diri, boy!”
Hugo
mengangkat bahunya dan tersenyum culas. “Tapi juga nggak menutup kemungkinan
memikirkan hal itu kan?”
“Shit! Sialan lo!”
Hugo
tertawa. Ia baru saja hendak berbicara kembali ketika terdengar suara menyela.
“Wow! Ada apa gerangan tuan Hugo kemari?”
Hugo
mendengus. Satu lagi laki- laki sinting
datang!
Kentaro,
yang juga sahabat keduanya tampak menyeringai pada Hugo. “Well, seingat gue ada yang bersumpah nggak bakal kemari setelah married,”
“Gue
memang nggak mau kesini lagi,” jawab Hugo. “Tapi karena gue sahabat yang baik,
gue harus kemari lah untuk memastikan dengan cara apa sohib gue bunuh diri.”
“Bunuh
diri?” Kening Kent berkerut. “Siapa?”
Dagu
Hugo terangkat sedikit. “Lo nggak lihat itu tampang menyedihkan di samping lo,”
“Shit!” Delik Askar. “Gue bilang gue
nggak semenyedihkan itu!”
“Tapi
buktinya,” Bibir Hugo mencebik ke bawah.
“Lo
salah lihat kali, Bro! Askar terlihat baik-baik aja,” tukas Kent. “Coba aja
panggil salah satu cewek seksi kemari, gue pastikan dia sehat kembali.” Katanya
lagi sambil tertawa geli.
Hugo
berdecak. “Ck, lo nggak bisa serius dikit apa, Kent?”
Kent
itu sok tahu! Laki-laki itu tak begitu mengenal sosok Askar. Keduanya baru
berteman sekitar lima tahun terakhir, berbeda dengan dirinya yang sudah sejak
kecil menghabiskan waktu bersama Askar.
Hugo
benar-benar hapal seperti apa seorang Askar Adinata.
“Gue
se…,”
“Apa
rasanya menikah?”
Ucapan
Askar yang memotong omongan Kent kontan membuat kedua kepala menoleh bersamaan.
Hugo mengernyit heran. Tidak salah
dengarkah ia?
Tiba-tiba
terdengar suara tawa berderai. Kerutan di dahi Hugo bertambah karena tawa
tersebut ternyata muncul dari bibir Kent. Apa yang lucu!
“Married? Lo mau married, Kar? Serius? Saran gue sih jangan! Married sama aja ngelemparin kita ke jurang. Susah dan sakit.”
Hugo
menggeleng –geleng. Kent produk gagal pernikahan orang tuanya. Selain itu dua
pernikahan yang pernah dijalaninya pun berujung pada perceraian. Kedua istrinya
memilih selingkuh dan pergi dengan laki-laki lain. Kent dendam. Selanjutnya ia
lebih memilih menghabiskan hidup dengan hura-hura dan mengencani wanita sebagai
pemuas nafsu belaka. Takkan ada lagi pernikahan dalam hidupnya, begitulah sumpah
seorang Kentaro.
“Lo
ngomong kayak gitu karena lo belum ketemu wanita yang tepat, Kent. Wanita yang
baik.”
Kent
melotot. Hugo nyengir, namun ia tak berhenti menyatakan pendapatnya.
“Wanita
yang pastinya mencintai lo meski tahu seberapa hancurnya hidup lo.”
“Ada
wanita seperti itu?”
“Istri
gue,” Hugo tersenyum.
“Lo
ngomong gitu karena belum lama kawin.”
“Kata
siapa? Nyaris setahun lebih gue kawin kali.” Ucap Hugo. “Tapi bukan masalah
lama atau nggaknya sekarang, tapi lebih ke hati dan perasaan.
“Ck,
teori lo bagus.”
Hugo
terkekeh. “Nantilah suatu saat hati kalian sendiri yang menunjukkan jodoh yang
tepat.”
“Ya
ya ya. Suka-suka prinsip lo lah,” sahut Kent. Tak lama ia berpaling.
“Omong-omong beneran Kar lo mau kawin?”
Askar
mendesah panjang. Bahunya mengedik. “Gue belum terpikir sebenarnya.” Jawabnya
pelan.
“Tapi
sepertinya gue harus memikirkannya sekarang.”
“Maksud
lo?” tanya Kent tak sabar.
“Bokap
ngerencanain bikin acara untuk nemuin jodoh gue.”
Hugo
mengernyit, “Maksud lo gimana sih?”
“Sayembara!”
Askar terdiam sesaat. “Lo pernah dengar kan kisah-kisah puteri zaman dulu.
Nyari pasangan pakai diumumkan seantero negeri terus nanti ada seleksinya.”
“Nah
itulah rencana Bokap.”
Sejurus
kemudian Hugo terperangah dan Kent melongo kaget. “Se—serius?”
Anggukan
Askar sudah cukup menjawab pertanyaan Hugo.
“Dan rencana itu bakalan disiarkan di TV!”
“Apaaa!”
“Sinting!”
Hugo
menggeleng prihatin. “Gue nggak tahu Om Bram punya ide sekonyol itu.”
***
Agni baru saja mulai mengunyah
makanan ketika mendengar namanya dipanggil. Sesaat ia memutar kepala ke
belakang dan tersenyum karena menemukan Lintang menghampirinya.
“Sarapan atau makan siang, Bu?”
seloroh Lintang sambil menarik sebuah kursi tepat di depan Agni sambil melirik
jam di pergelangan tangan. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 Siang.
Seketika bibir Agni pun mengerucut.
“Ish, lo ini Mbak kayak nggak tau aja jadwal siaran gue. Mana tadi abis siaran
diminta meeting dulu lagi. Ya udah
nasib gue baru makan sekarang.”
Lintang terkikik geli. “Iya-iya sorry!”
Agni mengangguk. “Eh, denger-denger
lo mau pindah pegang program, Mbak?”
“Kayaknya sih gitu. Mas Aksa maunya
gue yang pegang acara sayembara itu.”
Agni terbeliak. “Emang jadi?”
“Ya jadilah. Kemarin abis ketemu sama
Pak Indra.”
“Siapa itu?”
“Orang kepercayaannya Pak Bram.”
“Oh,” kepala Agni manggut-manggut.
“Nah terus si pangerannya belum muncul.”
“Pangeran?” dahi Lintang berkerut.
“Oh maksud lo anaknya Pak Bram ya?”
Agni mengangguk tanpa suara.
“Belum sih. Kayaknya orang sibuk
dia.”
Emang! Sibuk tebar pesona pada wanita-wanita!
“Gue masih nggak habis pikir deh, Ni.
Masa iya segitu nggak lakunya.”
Sama!
“Anak tajir kayak gitu bebas kali
dapat cewek yang dia mau. Kan bisa dijodoh-jodohin gitu ya. Itu yang kayak di
sinetron.”
Bahu Agni mengedik acuh. Ia memilih
fokus pada makanannya.
“Kebanyakan duit sih ya,”
Agni tergelak. Mungkin saja!
“Udah ah, Mbak males bahasnya. Urusan
keluarga mereka juga.”
“Iya sih.” ujar Lintang seraya
menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Kenapa juga ia terlalu kepo, bukan
urusannya. Urusannya hanya mengemas program acara menjadi menarik dan bisa
ditonton masyarakat.
***
Tantra hanya dapat menarik napas
panjang karena untuk kesekian kalinya Askar memarahinya. Laporan yang dibuatnya
tak kunjung benar, selalu ada salah, begitu yang Askar katakan. Padahal laporan
itu sudah biasa Tantra kerjakan dan ia yakin sekali tak ada kesalahan di sana.
Ah, mood Mas Askar sedang buruk.
Tantra tahu rencana sayembara
berimbas pada kekesalan Askar berhari-hari. Askar tentu tak ingin sayembara
dilakukan. Konyol dan terkesan murahan. Mengingat begitu tingginya harga diri
seorang Askar, lelaki itu tentu akan mati-matian menolak.
Tapi sayang yang dihadapi kali ini
Bram, ayah kandungnya.
“INI APA LAGI SIH, TRA? SALAH MULU!
SALAH MULU LO SEHARIAN INI, HAH!” Askar berteriak kesal. Tantra tersenyum
kecut.
“NGAPAIN AJA SIH LO DARI TADI?
KERJAAN KOK NGGAK ADA BERESNYA.”
“A—aku kerja, Mas,”
Askar melotot. “KERJA? Kerja apaan?
Laporan salah begini lo sebut kerjaan?”
“Bener, Mas aku dari tadi emang
kerja. Bolak-balik kasih laporan malah.” Jawab Tantra dengan hati kebat-kebit.
Seharusnya Askar tidak dibantah. Tapi bertahun-tahun bekerja dengan laki-laki
itu, Tantra justru terbiasa membantah jika dirasa kebijakan Askar terlalu
menyengsarakannya. Dan sepertinya kali ini ia akan melakukanya kembali. Lelah
rasanya bolak-balik mengerjakan laporan yang sebenarnya sudah selesai.
“Kamu ini bisa aja ngeles,”
“Nggak ngeles, Mas.” Balas Tantra.
“Cuma jawab.” Katanya lagi sambil nyengir.
“Lagian gini deh, Mas Askar seharian
marah-marah nggak capek apa?” sambung Tantra kemudian.
“Sok tahu kamu!” cibir Askar.
“Lah emang aku tahu. Paling masalah
sayembara kan?”
Askar menggeram. “Sejauh mana lo terlibat
dalam rencana sialan ini.”
“Mendampingi Pak Indra bertemu pihak
TV. Melihat konsep yang mereka tawarkan apakah sesuai dengan karakter Mas
Askar.”
“Ck, kenapa harus lo sih?”
Bahu Tantra mengedik. “Kata Pak Bram,
aku kan asisten Mas Askar, jadi sedikit banyak tahu lah.”
Askar berdecih. Ia begitu kesal
dengan sikap Tantra yang menuruti kemauan Ayahnya. Ingin rasanya memecatnya.
Tapi tak mungkin. Selama ini hanya Tantra yang dapat mengimbangi ritme
kerjanya. Entah sudah berapa kali ia berganti asisten hingga akhirnya bertemu
Tantra yang begitu cekatan dan gesit.
“Mas,”
“Hmm,”
“Ini laporannya gimana?”
Tangan Askar terkibas. “Sudah
abaikan! Lo bantu gue mikir cari cara membatalkan rencana sialan ini.”
Tantra menghela napas pendek. Semudah
itu Askar berkata untuk mengabaikan laporan, padahal sudah berkali-kali ia
dimarahi dan diminta mengerjakan ulang.
Ya Tuhan, Askar itu benar-benar menyebalkan.
“Gimana? Ada cara nggak lo biar gue
terbebas dari sayembara Papa?”
Tantra diam sesaat sebelum kemudian
menggeleng.
“Satu-satunya Mas Askar yang bilang
langsung ke Pak Bram untuk tak melakukannya.”
Askar mendesis. “Sebelum lo suruh,
gue juga udah ngomong ke Papa. Tapi apa, Papa tetap aja menjalankan
rencananya.”
Tantra meringis. Tak ada ide lain
terlintas di benaknya selain yang barusan dikatakannya. Apalagi memang,
mengingat kuasa Bram Adinata yang begitu luas. Sulit rasanya menggagalkan
rencana itu. Lagipula sayang pula, iming-iming bonus 5x lipat jika tak jadi.
Eh…
Senyum tipis terkembang di wajah
Tantra. Bukan masalah materi sebenarnya, tapi lebih kepada pelajaran untuk
seorang Askar. Tentu saja sekarang lelaki itu tak bisa berkutik.
Dan sejujurnya, meskipun harus
menerima omelan dan amarah, Tantra menyukai melihat Askar yang begitu frustasi.
Jadi jangan hanya bisa membuat stress karyawannya saja.
Memang benar, hidup ibarat roda yang
berputar.
“TANTRA!”
“Eh, iya—iya, Mas!”
“Ngapain sih senyum-senyum sendiri?
Lo ngetawain gue ya?”
“Nggak-nggak, Mas.”
“Terus ngapain?”
“Ingat kucing kawin di rumah tadi
pagi, Mas,”
***
Lampung, September 2016
good post mbak
BalasHapusmakasih Pak
Hapus